I. PENDAHULUAN
Pengajaran
sastra di lembaga pendidikan formal dari hari ke hari semakin sarat dengan
berbagai persoalan. Tampaknya, pengajaran sastra memang pengajaran yang
bermasalah sejak dahulu. Keluhan-keluhan para guru, subjek didik, dan sastrawan
tentang rendahnya tingkat apresiasi sastra selama ini menjadi bukti konkret
adanya sesuatu yang tak beres dalam pembelajaran sastra di lembaga pendidikan
formal. Pertama, pengetahuan dan
kemampuan dasar dalam bidang kesastraan para guru sangat terbatas. Materi
kesastraan yang mereka peroleh selama mengikuti pendidikan formal di LPTK sangat
terbatas. Materi kuliah kesastraan yang mereka peroleh lebih bersifat teoretis,
sedangkan yang mereka butuhkan di lapangan lebih bersifat praktis. Kedua, buku dan bacaan penunjang
pembelajaran sastra di sekolah, khususnya di SLTP dan SMU juga terbatas. Keterbatasan
buku penunjang ini tidak terjadi di SD karena hampir semua SD, di daerah
perkotaan khususnya, setiap tahun menerima kiriman buku bacaan dari Proyek
Perbukuan Nasional Depdikbud. Cuma saja, pemanfaatan buku bacaan tersebut
tampaknya belum maksimal karena ada faktor lain yang berkait dengan ini, yaitu
faktor minat siswa atau subjek didik. Minat belajar dan minat membaca para
siswa masih sangat rendah. Faktor ketersediaan waktu, manajemen perpustakaan
sekolah, dan dorongan dari guru menjadi penyebab utama dalam hal ini.
Berbagai
kendala di atas menyebabkan pengajaran sastra di berbagai jenjang pendidikan
formal hingga saat ini belum mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan.
Tujuan akhir pembelajaran sastra, penumbuhan dan peningkatan apresiasi sastra
pada subjek didik belum menggembirakan. Tulisan ini mencoba mengulas secara
ringkas akibat yang muncul dari berbagai faktor di atas beserta alternatif
pemecahan untuk kita diskusikan lebih lanjut. Hal ini tentu saja dimaksudkan
untuk mencoba mencari titik temu dan kesamaan persepsi kita ke arah peningkatan
kualitas pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal pada masa yang akan
datang.
II. PEMBAHASAN
1. PERMASALAHAN PENELITIAN SASTRA
Suryadibrata menjelaskan
bahwa munculnya masalah itu karena ada kesenjangan (gap) antara das
sollen dan das sein; ada perbedaan antara apa yang
seharusnya dengan apa yang ada dalam kenyataan, antara apa yang diperlukan dan
apa yang tersedia, antara harapan dan kenyataan. Yang menjadi masalah bisa apa
saja seperti sesuatu yang tidak memuaskan, berbagai macam kesulitan, urusan
yang ingin diubah, segala sesuatu yang berjalan tidak sesuai dengan
keinginan, dan sebagainya.
Pendapat tersebut didukung pula oleh Nawawi, bahwa kemunculan
masalah terjadi karena tidak terdapatnya keseimbangan antara sesuatu yang
diharapkan (das sollen) berdasarkan teori-teori atau hukum-hukum yamg
menjadi tolok ukur dengan kenyataan (das sein) sehingga menimbulkan
pertanyaan mengapa demikian atau apa sebabnya demikian. Di samping itu, masalah
dapat pula muncul karena keragu-raguan tentang keadaan sesuatu , sehingga ingin
diketahui keadaannya secara mendalam dan objektif.”
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, kita bisa
menyimpulkan bahwa pada hakikatnya masalah adalah keadaan yang
muncul ketika ada kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa
yang ada dalam kenyataan. Kesenjangan itulah yang menjadi inti
masalah. Masalah bisa bersifat konseptual-teoretis, maupun yang
bersifat praktis yaitu masalah-masalah yang ditemui dalam kegiatan manusia
sehari-hari,seperti ;
Apakah berguna?
Apakah dapat diteliti?
Apakah fisibel?
Apakah menarik?
Apakah ada kebaruan?
Apakah jelas batasnya?
Apakah relevan dengan bidang studi peneliti?
Untuk membantu peneliti muda dalam usaha
mennyeleksi dan merumuskan masalah dan sub-masalah yang patut dibahas secara
ilmiah ada beberapa kriteria yang perlu mendapat perhatian :
- Masalah penelitian harus dipilih yang berguna untuk diungkapkan.
- Masalah yang dipilih harus relevan dengan kemampuan atau keahlian peneliti.
- Masalah penelitian harus menarik perhatian untuk diungkapkan.
- Masalah penelitian sedapat mungkin menghasilkan sesuatu yang baru.
- Masalah penelitian harus dipilih yang dapat dihimpun datanya secara lengkap dan obyektif.
- Masalah penelitian tidak boleh terlalu luas, tetapi juga tidak boleh terlalu sempit
2. PERMASALAHAN PENGAJARAN SASTRA
Pengajaran sastra di sekolah sangat beragam, mulai dari pengenalan sejarah
sastra, pengejaran yang bersifat teori tentang penulisan karya sastra, dan
pengajaran apresiasi sastra yang melibatkan unsur teori dan emosi. Kegiatan
apresiasi ini sangat diperlukan dalam pengajaran sastra. Dengan kegiatan
apresiasi ini siswa diharapkan akan lebih memahami sebuah karya sastra.
Menyadari betapa pentingnya peranan sastra, kini fenomena yang muncul adalah
adanya tanggapan-tanggapan negatif mengenai pembelajaran sastra. Tanggapan
negatif tersebut berasal dari para pengajar sastra maupun dari kalangan
sastrawan itu sendiri. Pada dasarnya mereka berpendapat bahwa pengajaran
sastra masih bermasalah. Tujuan pengajaran sastra di sekolah-sekolah pada umumnya
lebih ditekankan pada penguasaan pengetahuan yang bersifat teoretis bukan pada
aspek apresiasi sastra. Ada beberapa faktor yang mengakibatkan pengajaran
sastra di sekolah-sekolah kurang mengarah pada segi apresiatif. Faktor-faktor
tersebut antara lain ;
1.
Faktor Sarana Buku Pelajaran Sastra
Faktor ini menyangkut
masalah ada tidaknya buku pelajaran sastra. Fenomena ini bisa kita temukan
dengan mudah di sekolah-sekolah. Pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah
dewasa ini lebih ditekankan pada pengajaran yang bersifat teoretis, hal ini
salah satunya diakibatkan karena buku penunjang sastra yang memang sangat tidak
memadai. Faktor sarana menyangkut tidak adanya perpustakaan sekolah yang tidak
memadai sehingga buku-buku sastra yang tersedia kurang mendukung tercapainya
tujuan pengajaran.
2.
Guru
Faktor guru
ditinjau dari cara menyajikan materi, guru lebih menekankan pengetahuan tentang
sastra dan kurang memperhatikan kemampuan siswa dalam mengapresiasi dan
mengekspresikan karya sastra. Hal itu didukung pula oleh kondisi siswa yang
merasa jenuh ketika harus belajar bahasa yang dianggapnya membosankan, ditambah
lagi tidak adanya media yang mampu merangsang mereka untuk bisa menyukai
pelajaran sastra.
3.
Sistem Ujian
Selama ini, evalusi pembelajaran
sastra lebih diarahkan pada penguasaan teori dan sejarah sastra. Soal-soal
buatan guru ataupun soal standar nasional belum berorientasi sepenuhnya pada
evaluasi yang bersifat apresiatif. Evaluasi yang bersifat apresiatif seharusnya
beranjak dari hakikat karya sastra sebagai karya yang memungkinkan timbulnya interpretasi
yang beragam, yang mungkin berbeda antara satu siswa dengan siswa yang lain.
Karenanya, penggunaan soal bentuk isian ataupun soal uraian tampaknya lebih
tepat digunakan dalam evaluasi pembelajaran sastra. Penggunaan soal bentuk yang
lain, pilihan berganda misalnya, memaksa siswa untuk memilih satu jawaban yang
dianggap paling tepat oleh pembuat soal sehingga interpretasi personal siswa
tidak berkembang.
III. PENUTUP
Kemunculan masalah terjadi karena
tidak terdapatnya keseimbangan antara sesuatu yang diharapkan (das sollen)
berdasarkan teori-teori atau hukum-hukum yamg menjadi tolok ukur dengan
kenyataan (das sein) sehingga menimbulkan pertanyaan mengapa
demikian atau apa sebabnya demikian. Di samping itu, masalah dapat pula muncul
karena keragu-raguan tentang keadaan sesuatu , sehingga ingin diketahui
keadaannya secara mendalam dan objektif.”
Berdasarkan pendapat-pendapat
tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa pada hakikatnya masalah
adalah keadaan yang muncul ketika ada kesenjangan antara apa yang
diinginkan dengan apa yang ada dalam kenyataan. Kesenjangan itulah yang
menjadi inti masalah. Masalah bisa bersifat konseptual-teoretis,
maupun yang bersifat praktis yaitu masalah-masalah yang ditemui dalam kegiatan
manusia sehari-hari.
Dan Tampaknya
masih banyak yang harus dilakukan untuk menjadikan pengajaran sastra di lembaga
pendidikan formal tidak lagi sarat dengan berbagai masalah pada masa yang akan
datang. LPTK negeri dan swasta (FKIP, STKIP, dsb.) sebagai lembaga yang
mendidik calon guru sastra sudah saatnya meninjau kembali penetapan jenis dan
bobot mata kuliah kesastraan yang diprogramkan per semester, isi silabus per
mata kuliah, kualifikasi dosen pengajar mata kuliah kesastraan, dan berbagai
hal lain yang berkait dengan perkuliahan kesastraan di LPTK. Kecenderungan
untuk menganggap kuliah kesastraan itu mudah, sepele, dan dapat diajarkan oleh
siapa saja selama ini sudah saatnya ditanggalkan.
Bagi rekan-rekan guru yang sudah terlanjur memilih menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia (dan daerah) di lembaga pendidikan dasar dan menengah sudah saatnya kita mengintrospeksi diri dan bertekad memberikan yang terbaik untuk pengajaran sastra. Kecenderungan untuk pasrah menerima kekurangan dan keterbatasan diri, keterbatasan fasilitas, dan berbagai keterbatasan lain sudah saatnya dibuang. Demikian juga halnya dengan kecenderungan untuk asal masuk kelas, asal anak-anak tidak ribut, asal target kurikulum tercapai, dan berbagai asal-asalan lain.
Bagi rekan-rekan guru yang sudah terlanjur memilih menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia (dan daerah) di lembaga pendidikan dasar dan menengah sudah saatnya kita mengintrospeksi diri dan bertekad memberikan yang terbaik untuk pengajaran sastra. Kecenderungan untuk pasrah menerima kekurangan dan keterbatasan diri, keterbatasan fasilitas, dan berbagai keterbatasan lain sudah saatnya dibuang. Demikian juga halnya dengan kecenderungan untuk asal masuk kelas, asal anak-anak tidak ribut, asal target kurikulum tercapai, dan berbagai asal-asalan lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar