SMA NEGERI 3 KOTABUMI-LAMPUNG

SMA NEGERI 3 KOTABUMI-LAMPUNG
Wish You All The Best

Sabtu, 12 Mei 2012

Materi Kuliah


I. PENDAHULUAN
Pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal dari hari ke hari semakin sarat dengan berbagai persoalan. Tampaknya, pengajaran sastra memang pengajaran yang bermasalah sejak dahulu. Keluhan-keluhan para guru, subjek didik, dan sastrawan tentang rendahnya tingkat apresiasi sastra selama ini menjadi bukti konkret adanya sesuatu yang tak beres dalam pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal. Pertama, pengetahuan dan kemampuan dasar dalam bidang kesastraan para guru sangat terbatas. Materi kesastraan yang mereka peroleh selama mengikuti pendidikan formal di LPTK sangat terbatas. Materi kuliah kesastraan yang mereka peroleh lebih bersifat teoretis, sedangkan yang mereka butuhkan di lapangan lebih bersifat praktis. Kedua, buku dan bacaan penunjang pembelajaran sastra di sekolah, khususnya di SLTP dan SMU juga terbatas. Keterbatasan buku penunjang ini tidak terjadi di SD karena hampir semua SD, di daerah perkotaan khususnya, setiap tahun menerima kiriman buku bacaan dari Proyek Perbukuan Nasional Depdikbud. Cuma saja, pemanfaatan buku bacaan tersebut tampaknya belum maksimal karena ada faktor lain yang berkait dengan ini, yaitu faktor minat siswa atau subjek didik. Minat belajar dan minat membaca para siswa masih sangat rendah. Faktor ketersediaan waktu, manajemen perpustakaan sekolah, dan dorongan dari guru menjadi penyebab utama dalam hal ini.
Berbagai kendala di atas menyebabkan pengajaran sastra di berbagai jenjang pendidikan formal hingga saat ini belum mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan. Tujuan akhir pembelajaran sastra, penumbuhan dan peningkatan apresiasi sastra pada subjek didik belum menggembirakan. Tulisan ini mencoba mengulas secara ringkas akibat yang muncul dari berbagai faktor di atas beserta alternatif pemecahan untuk kita diskusikan lebih lanjut. Hal ini tentu saja dimaksudkan untuk mencoba mencari titik temu dan kesamaan persepsi kita ke arah peningkatan kualitas pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal pada masa yang akan datang.

II. PEMBAHASAN

1. PERMASALAHAN PENELITIAN SASTRA
Suryadibrata menjelaskan bahwa munculnya masalah itu karena ada kesenjangan (gap) antara das sollen dan das sein;  ada perbedaan antara apa yang seharusnya dengan apa yang ada dalam kenyataan, antara apa yang diperlukan dan apa yang tersedia, antara harapan dan kenyataan. Yang menjadi masalah bisa apa saja seperti sesuatu yang tidak memuaskan, berbagai macam kesulitan, urusan yang ingin diubah, segala sesuatu yang  berjalan tidak sesuai dengan keinginan, dan sebagainya.
            Pendapat tersebut didukung pula oleh Nawawi, bahwa kemunculan masalah terjadi karena tidak terdapatnya keseimbangan antara sesuatu yang diharapkan (das sollen) berdasarkan teori-teori atau hukum-hukum yamg menjadi tolok ukur dengan kenyataan (das sein) sehingga menimbulkan pertanyaan mengapa demikian atau apa sebabnya demikian. Di samping itu, masalah dapat pula muncul karena keragu-raguan tentang keadaan sesuatu , sehingga ingin diketahui keadaannya secara mendalam dan objektif.” 
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa pada hakikatnya  masalah adalah keadaan yang muncul  ketika ada kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang ada dalam kenyataan. Kesenjangan itulah yang menjadi inti masalah.  Masalah bisa bersifat konseptual-teoretis, maupun yang bersifat praktis yaitu masalah-masalah yang ditemui dalam kegiatan manusia sehari-hari,seperti ;
  Apakah berguna?
  Apakah dapat diteliti?
  Apakah fisibel?
  Apakah menarik?
  Apakah ada kebaruan?
  Apakah jelas batasnya?
  Apakah relevan dengan bidang studi peneliti?
Untuk membantu peneliti muda dalam usaha mennyeleksi dan merumuskan masalah dan sub-masalah yang patut dibahas secara ilmiah ada beberapa kriteria yang perlu mendapat perhatian :
  1. Masalah penelitian harus dipilih yang berguna untuk diungkapkan.
  2. Masalah yang dipilih harus relevan dengan kemampuan atau keahlian peneliti.
  3. Masalah penelitian harus menarik perhatian untuk diungkapkan.
  4. Masalah penelitian sedapat mungkin menghasilkan sesuatu yang baru.
  5. Masalah penelitian harus dipilih yang dapat dihimpun datanya secara lengkap dan obyektif.
  6. Masalah penelitian tidak boleh terlalu luas, tetapi juga tidak boleh terlalu sempit
2. PERMASALAHAN PENGAJARAN SASTRA
            Pengajaran sastra di sekolah sangat beragam, mulai dari pengenalan sejarah sastra, pengejaran yang bersifat teori tentang penulisan karya sastra, dan pengajaran apresiasi sastra yang melibatkan unsur teori dan emosi. Kegiatan apresiasi ini sangat diperlukan dalam pengajaran sastra. Dengan kegiatan apresiasi ini siswa diharapkan akan lebih memahami sebuah karya sastra.
            Menyadari betapa pentingnya peranan sastra, kini fenomena yang muncul adalah adanya tanggapan-tanggapan negatif mengenai pembelajaran sastra. Tanggapan negatif tersebut berasal dari para pengajar sastra maupun dari kalangan sastrawan itu  sendiri. Pada dasarnya mereka berpendapat bahwa pengajaran sastra masih bermasalah. Tujuan pengajaran sastra di sekolah-sekolah pada umumnya lebih ditekankan pada penguasaan pengetahuan yang bersifat teoretis bukan pada aspek apresiasi sastra. Ada beberapa faktor yang mengakibatkan pengajaran sastra di sekolah-sekolah kurang mengarah pada segi apresiatif. Faktor-faktor tersebut antara lain ;
1.      Faktor Sarana Buku Pelajaran Sastra
Faktor ini menyangkut masalah ada tidaknya buku pelajaran sastra. Fenomena ini bisa kita temukan dengan mudah di sekolah-sekolah. Pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah dewasa ini lebih ditekankan pada pengajaran yang bersifat teoretis, hal ini salah satunya diakibatkan karena buku penunjang sastra yang memang sangat tidak memadai. Faktor sarana menyangkut tidak adanya perpustakaan sekolah yang tidak memadai sehingga buku-buku sastra yang tersedia kurang mendukung tercapainya tujuan pengajaran.
2.      Guru
Faktor guru ditinjau dari cara menyajikan materi, guru lebih menekankan pengetahuan tentang sastra dan kurang memperhatikan kemampuan siswa dalam mengapresiasi dan mengekspresikan karya sastra. Hal itu didukung pula oleh kondisi siswa yang merasa jenuh ketika harus belajar bahasa yang dianggapnya membosankan, ditambah lagi tidak adanya media yang mampu merangsang mereka untuk bisa menyukai pelajaran sastra.
3.      Sistem Ujian
Selama ini, evalusi pembelajaran sastra lebih diarahkan pada penguasaan teori dan sejarah sastra. Soal-soal buatan guru ataupun soal standar nasional belum berorientasi sepenuhnya pada evaluasi yang bersifat apresiatif. Evaluasi yang bersifat apresiatif seharusnya beranjak dari hakikat karya sastra sebagai karya yang memungkinkan timbulnya interpretasi yang beragam, yang mungkin berbeda antara satu siswa dengan siswa yang lain. Karenanya, penggunaan soal bentuk isian ataupun soal uraian tampaknya lebih tepat digunakan dalam evaluasi pembelajaran sastra. Penggunaan soal bentuk yang lain, pilihan berganda misalnya, memaksa siswa untuk memilih satu jawaban yang dianggap paling tepat oleh pembuat soal sehingga interpretasi personal siswa tidak berkembang.


III. PENUTUP

Kemunculan masalah terjadi karena tidak terdapatnya keseimbangan antara sesuatu yang diharapkan (das sollen) berdasarkan teori-teori atau hukum-hukum yamg menjadi tolok ukur dengan kenyataan (das sein) sehingga menimbulkan pertanyaan mengapa demikian atau apa sebabnya demikian. Di samping itu, masalah dapat pula muncul karena keragu-raguan tentang keadaan sesuatu , sehingga ingin diketahui keadaannya secara mendalam dan objektif.” 
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa pada hakikatnya  masalah adalah keadaan yang muncul  ketika ada kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang ada dalam kenyataan. Kesenjangan itulah yang menjadi inti masalah.  Masalah bisa bersifat konseptual-teoretis, maupun yang bersifat praktis yaitu masalah-masalah yang ditemui dalam kegiatan manusia sehari-hari.
Dan Tampaknya masih banyak yang harus dilakukan untuk menjadikan pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal tidak lagi sarat dengan berbagai masalah pada masa yang akan datang. LPTK negeri dan swasta (FKIP, STKIP, dsb.) sebagai lembaga yang mendidik calon guru sastra sudah saatnya meninjau kembali penetapan jenis dan bobot mata kuliah kesastraan yang diprogramkan per semester, isi silabus per mata kuliah, kualifikasi dosen pengajar mata kuliah kesastraan, dan berbagai hal lain yang berkait dengan perkuliahan kesastraan di LPTK. Kecenderungan untuk menganggap kuliah kesastraan itu mudah, sepele, dan dapat diajarkan oleh siapa saja selama ini sudah saatnya ditanggalkan.
Bagi rekan-rekan guru yang sudah terlanjur memilih menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia (dan daerah) di lembaga pendidikan dasar dan menengah sudah saatnya kita mengintrospeksi diri dan bertekad memberikan yang terbaik untuk pengajaran sastra. Kecenderungan untuk pasrah menerima kekurangan dan keterbatasan diri, keterbatasan fasilitas, dan berbagai keterbatasan lain sudah saatnya dibuang. Demikian juga halnya dengan kecenderungan untuk asal masuk kelas, asal anak-anak tidak ribut, asal target kurikulum tercapai, dan berbagai asal-asalan lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar