I. PENDAHULUAN
Bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari sangat
bervariasi. Salah satunya disebut bahasa gaul. Bahasa gaul? Sebuah istilah yang
sebenarnya menyesatkan. Tapi tak apa. Ini berarti ada penyempitan makna. Bahasa
gaul kini diartikan sebagai ragam bahasa yang digunakan dalam pergaulan oleh
anak-anak dan remaja–dan masyarakat umum, baik di desa maupun di kota, yang
menganggap dirinya banyak bergaul, kotaan, modern. Jadi, untuk menghindari
predikat kampungan, dusunan, udikan kini banyak orang–sadar atau pun taksadar–menggunakan
bahasa gaul dalam kesehariannya, terutama dalam bentuk lisan.
Maka hampir semua kata–bukan saja kata dasar bahasa
Indonesia, melainkan juga kata yang berasal dari bahasa daerah (Sunda) dan
bahasa asing (Inggris)–dibubuhi awalan nge- akhiran -in agar menjakarta, agar
modern, agar kotaan. Misalnya, nyumputin ‘menyembunyikan’, nguyahin
‘menggarami’, ngeprint ‘mencetak’, ngedownload ‘mengunduh’, ‘membuka fayel di
internet’. Jadi, ada penyempitan makna lagi: bahasa Indonesia adalah dialek
Betawi. Maka bahasa gaul adalah dialek Betawi.
Dalam ilmu bahasa yang disebut bahasa gaul taklain adalah
bahasa yang digunakan untuk perhubungan bin pergaulan secara luas alias komunikasi
alias lingua franca–Ingat saja pelajaran di SLTP, mengapa bahasa Melayu
diangkat menjadi bahasa Indonesia lalu dijadikan sebagai bahasa persatuan dan
bahasa negara.
II. PEMBAHASAN
Variasi Bahasa dan Penggunaannya Di
Dalam Masyarakat
Variasi Bahasa
Variasi bahasa adalah suatu wujud perubahan atau perbedaan
dari pelabagai manifestasi kebahasaan namun tidak bertentangan dengan kaidah
kebahasaan. (Paul, 2002:46).
Contoh beberapa variasi bahasa, diantaranya variasi
morfofonemis. Bahwa dalam penggunaan bahasa ada tiga variasi morfer /ber-/ ,
ber-, ber-, dan bel- saat digabungkan dengan bentuk dasar. Menjadi ber bila
kata dasarnya kata, menjadi berkata. Menjadi be- bila kata dasarnya renang,
menjadi berenang, lalu menjadi bel- bila kata dasarnya ajar, menjadi belajar.
Ada juga variasi pragmatik, misalnya dalam konteks, seorang
pemilik mobil menegur sopirnya yang memacu kijang tua di tol dengan kecepatan
120 km/jam.
Pemilik
mobil: Mas, coba lihat papan di depan!
Sopir
: Baik, pak (serta merta kecepatan kendaraan diturunkan menjadi hanya 90
km/jam).
Atau contoh lain, pemilik mobil menyapa sopirnya dengan
sebut Mas. Dia seolah merendahkan diri dengan harapan sopir dapat melaksanakan
keinginannya tanpa merasa terpaksa.
Secara umum, variasi bahasa menurut Paul terbagi dua, yakni
variasi sistemik dan variasi ekstrasistemik.
Variasi Sistemik, variasi sistemik disebut juga
variasi internal, karena hanya terjadi lingkup unsur-unsur kebahasaan itu
sendiri, misalnya pada unsur fonem, morfem, tata kalimat, dan sebagainya. Perubahan
morfer ber- menjadi bel-, ber-, dan be, merupakan salah satu contoh variasi
sitemik. Sama seperti perubahan morfem meN- menjadi menge-, meng-, meny, men-,
dan mem-.
Variasi Ekstrasistemik, menurut Paul (2002:49) adalah
perubahan yang bersumber dari luar sistem bahasa. Disebut juga variasi eksternal.
Variasi ini terjadi karena berbagai faktor, seperti keadaan geografis, konteks
sosial, fungsi atau tujuan komunikasi dan faktor perkembangan bahasa dalam
kurun waktu yang lama. Faktor geografis,
misalnya karena rintangan geografis seperti gunung, sungai selat dan sejenisnya
bahasa yang tadinya merupakan alat komunikasi yang seragam antarkelompok
mengalami perubahan karena perindahan dari suatu lokasi ke lokasi yang lain.
Disebut juga dialek. Bahasa orang yang tinggal di lampung, berbeda dengan bahasa
warga Jakarta. Atau orang Jawa menggunakan bahasa Palembang. Kedudukan sosial, dikenal pada bahasa
Jawa seperti hasil penelitian C. Geertz dalam J.B. Price and Janet Holmes, ada
tidak ragam. Pertama, penutur bukan priyayi namun cukup terpelajar dan tinggal
di kota. Kedua, ragam yang dipakai para petani atau warga kota yang bukan
terpelajar, dan ketiga ragam yang lazim dituturkan kaum priyayi. Situasi berbahasa, disebut juga
fungsiolek. Kalau perbedaan kedudukan sosial menimbulkan sosiolek, maka
perbedaan situasi dan dengan siapa dan dalam konteks apa menimbulkan
fungsiolek. Dikenal lima tingkat ragam bahasa, beku (froren), resmi (formal),
usaha (consultative), santai (casual), dan akrab (intimate). Perubahan karena berlalunya waktu,
terlihat perbedaan pada masa 1939 prakemerdekaan, 145 awal kemerdekaan, dan
1995 masa orde baru. Perubahan dalam ejaan, seleksi kata, makna kata dan frase.
Berbicara tentang pemakaian ragam bahasa, pasti Anda masih
ingat. Kita bergaul dengan slogan-slogan yang berbau pembangunan. Bagaimana
bahasa Indonesia (lisan) yang digunaken Bapak daripada Pembangunan pada masa
Orde Baru yang mangkin lama–bahkan sampai kini–secara membabi buta mangkin
diikuti bawahannya dan orang-orang yang “berjiwa pembangunan”. Waktu Habibie
jaya, orang-orang memaksakan diri berbicara tentang dan bergaul dengan
masyarakat madani. Pada orde Gus Dur banyak bermunculan kata baru dalam bahasa
Indonesia yang bersumber dari bahasa Arab karena Gus Dur berasal dari kalangan
kiayi yang dapat dipastikan akrab bergaul dengan lughotul ‘arobiyah. Masa
Megawati lain lagi. Kini kata-kata berbau nasionalis demokratis bertebaran
dalam pergaulan kita, terutama para aktivis politik.
Anda pun mungkin ingat salah satu iklan obat batuk
mengatakan “em-em” (turunan dari ember dan emang dari memang). Iklan ubin
mengatakan, “No strength like it. No tile like it. Bagaimana pula Debby
Sahertian dkk. sebagai kaum selebritis mengubah aku menjadi akikah atau kata
lain dengan pola seperti itu mengingatkan kita pada kata-kata pemuda Bandung tahun
70-an. Sekadar contoh: gedé menjadi uda genéng, bujur menjadi ujar bunung,
geulis menjadi ulas geuning, kasép menjadi usap kanéng.
Kita beralih ilustrasi. Kita perhatikan petikan surat
Umberto Eco untuk Maria Martini. Umberto Eco adalah profesor, teolog, ahli
semiotik, dan sekaligus novelis Italia. Carlo Maria Martini adalah seorang
kardinal yang “membuka gereja” untuk diskusi.
Carlo Maria Martini yang terkasih,
Saya berharap Anda tidak berpikir bahwa saya berlaku tidak hormat dengan langsung memanggil nama tanpa memperhatikan jubah yang Anda pakai. Anggap saja tindakan ini merupakan penghargaan dan tindakan yang bijak. Disebut penghargaan karena saya selalu mengikuti cara orang Perancis umumnya yang menghindari penggunaan tanda karena dianggap sering sekali mereduksi maknanya seperti Doktor, Sri Paduka, atau Tuan Menteri ketika mereka mewawancarai seorang penulis, artis, atau tokoh politik. Gelar-gelar tersebut memang menunjukkan tanda intelektual mereka, namun bagi orang Perancis justru namalah yang lebih menunjukkan keberadaan mereka sehingga kami sering menyebutnya, “Dites-moi, Jacques Maritain”; “Dites-mois, Claude Lévi-Strauss” (Panggil saya, Jacques Maritain; Panggil saya, Claude Lévi-Strauss).
Saya berharap Anda tidak berpikir bahwa saya berlaku tidak hormat dengan langsung memanggil nama tanpa memperhatikan jubah yang Anda pakai. Anggap saja tindakan ini merupakan penghargaan dan tindakan yang bijak. Disebut penghargaan karena saya selalu mengikuti cara orang Perancis umumnya yang menghindari penggunaan tanda karena dianggap sering sekali mereduksi maknanya seperti Doktor, Sri Paduka, atau Tuan Menteri ketika mereka mewawancarai seorang penulis, artis, atau tokoh politik. Gelar-gelar tersebut memang menunjukkan tanda intelektual mereka, namun bagi orang Perancis justru namalah yang lebih menunjukkan keberadaan mereka sehingga kami sering menyebutnya, “Dites-moi, Jacques Maritain”; “Dites-mois, Claude Lévi-Strauss” (Panggil saya, Jacques Maritain; Panggil saya, Claude Lévi-Strauss).
Memang. Perancis berbeda dengan Indonesia. Tentu gaya
bahasanya pun berbeda. Karena itu, maaf, Dites-moi Indonésié parce que je suis
Indonésien. Simaklah undangan perkawinan yang pernah Anda terima. Umumnya,
pengundang mencantumkan nama berikut gelar selengkap-lengkapnya,
sepanjang-panjangnya. Contoh saja: Prof. Dr. dr. H. Nana Haon Sumakumlaude,
SpPD, SpA. atau Prof. Dr. Hj. Surajah, S.H., CN, LLM. atau yang meraih
pendidikan non-gelar (diploma) dengan A.Md-nya atau TNI/Polisi dengan
pangkatnya – bahkan yang sudah pensiun pun eh … purnawirawan. Takheran jika
pada label nama yang diundang pun ada gaya bahasa semacam ini: Mohon maaf jika
ada kesalahan penulisan nama dan gelar. Barangkali ini adalah gejala ulang yang
menjadi kajian sejarawan atau sosiolog Indonesia. Dulu ada Raden. Kini ada
Doktor Humoris (eh … Honoris) Causa. Keduanya mengimplikasikan adanya keningratan.
Bedanya: zaman.
Secara implisit, ilustrasi-ilustrasi yang diberikan di atas
menggambarkan adanya peristiwa komunikasi – dilandasi dengan kebudayaan dan
tujuan tertentu yang dibawa pelaku komunikasi – yang menyebabkan adanya pilihan
ragam bahasa. Bahasa apa pun dan di mana pun di dunia ini memiliki ragam yang
sangat bervariasi aktualisasinya. Walaupun penuturnya memakai ragam yang
berbeda, bentuknya adalah bahasa yang sama yang terbagi ke dalam idiolek,
dialek, sosiolek, register atau stil (style). Setiap penutur pasti memiliki
kelompok sosialnya (masyarakat bahasa) dan hidup dalam tempat dan waktu
tertentu. Karena itu, dia memiliki dua dialek, yaitu dialek sosial (vertikal)
dan dialek regional temporal (horizontal).
Kata-kata khas yang–sulit bahkan takbisa diubah–diproduksi
oleh seseorang semisal kata daripada dan mangkin yang dicetak miring pada
bagian awal tulisan ini dalam ilmu bahasa disebut idiolek. Jika idiolek-idiolek
yang bertebaran kemudian digabungkan lagi, dia akan memiliki sekumpulan ciri
tertentu. Ciri-ciri yang dimaksud akan berbeda pula jika berada di
daerah-daerah tertentu. Idiolek yang berkembang di daerah tertentu dan menjadi
ciri khas daerah itu, bukan lagi idiolek melainkan dialek. Misalnya, orang
Bandung mengatakan engké yang berarti ‘nanti’. Untuk kata yang dimaksud itu,
orang Kuningan dan Bogor mengatakannya engkin. Dan dialek yang berkembang dalam
tingkat sosial tertentu dalam ilmu bahasa disebut sosiolek. Jika kita perhatikan,
pilihan kata (diksi)–juga struktur kalimatnya–yang digunakan oleh orang yang
berpendidikan tinggi akan berbeda dengan yang dipakai oleh orang yang
berpendidikan rendah. Misalnya, pihak pertama akan menggunakan saya dan you,
Anda dalam bertegur sapa, sedangkan pihak kedua akan memilih aku, ana, gua, gue
dan kamu, kau, ente, elu, lo.
Perbedaan pemilihan kata (pemakaian bahasa) atau variasi
tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh latar pendidikan, tetapi juga oleh latar
atau faktor-faktor lain. Faktor-faktor yang dimaksud di antaranya adalah
tempat, waktu, situasi, maksud, kemampuan berbahasa, baik penyapa maupun
pesapa, juga latar umur dan jenis kelamin. Seorang J.S. Badudu yang dikenal
sebagai pendekar dan pembina bahasa Indonesia, misalnya, bisa saja –dan boleh
juga– tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagaimana yang
ia selalu gembar-gemborkan dulu di TVRI dan di majalah Intisari. Sebabnya, ia
paham betul yang dimaksud baik adalah menurut situasi dan benar adalah menurut
kaidah. Tidak akan pernah J.S. Badudu pergi ke toko buku dan bertanya kepada
pelayan dengan kalimat semacam ini: “Hai, pelayan! Berapa rupiahkan harga satu
buah buku yang akan saya beli ini?” “Oh, ternyata terlalu mahal, bolehkah harga
yang ditawarkan itu dikurangi agar saya jadi membelinya?” karena walaupun
benar, kalimat itu tidak sesuai dengan situasi. Kalimat yang akan digunakannya
mungkin semacam ini: “Berapa buku ini?” “Boleh kurang ‘kan?” “Kurangi dong.”
Atau karena penjual buku diduga sebagai orang Minang, mungkin Badudu akan
menggunakan bahasa Minang campur bahasa Indonesia. Atau juga dia akan
menggunakan bahasa Jawa karena tempat penjualan buku itu di Malioboro,
Yogyakarta. Atau juga berbahasa Sunda karena tempatnya di Jalan Palasari,
Bandung, dan pedagangnya orang Sunda.
Peristiwa yang terjadi dalam situasi pembicaraan di atas
adalah antara calon pembeli yang menginginkan buku yang akan dibelinya bisa
diperoleh dengan harga cocok menurut pembeli, tanpa embel-embel latar
pendidikan atau suku–J.S. Badudu berasal dari Gorontalo. Bisa juga terjadi apa
yang dalam ilmu bahasa (baca: sosiolinguistik atau sosiologi bahasa) disebut
alih kode atau campur kode. Misalnya percakapan dalam bahasa Indonesia atau
Jawa antara dua orang di stasiun Yogyakarta. Ketika diketahui bahwa kedua orang
sama-sama itu berasal dari Tasikmalaya, baik sengaja maupun tidak, bahasa yang
mereka gunakan tidak lagi bahasa Indonesia atau Jawa, tetapi bahasa Sunda atau
Sunda campur Indonesia.Jadi, batasan-batasan kebahasaan yang dikemukakan di
atas sangat tipis perbedaannya. Karena itu, ada beberapa istilah lain yang
berhubungan dengan ilustrasi-ilustrasi yang dikemukakan di atas perlu kita
ketahui. Di antaranya stil, slang, jargon, argot, dan register yang batasannya
dikemukakan berdasarkan pendapat beberapa ahli bahasa (sebagian dikutip dari
Chaedar Alwasilah, Sosiologi Bahasa, 1985)
Stil adalah cara seorang pembicara atau penulis
mendayagunakan atau mengekspresikan sumber-sumber kebahasaannya –pilihan yang
ditempuhnya dan penyusunan-penyusunan serta pola-pola yang tampak. Yang
termasuk ke dalam stil, misalnya, petikan surat Umberto Eco yang ditujukan
kepada Carlo Maria Martini dan peristiwa penawaran buku oleh J.S.Badudu.
Slang adalah hasil daya temu kebahasaan, terutama kawula
muda dan orang-orang ceria yang menginginkan istilah-istilah segar, asli,
tajam, atau apik untuk menyebut kembali gagasan-gagasan, tindakan-tindakan, dan
objek-objek yang sangat mereka gandrungi. Dengan demikian, slang adalah hasil
kombinasi kekurangwajaran bahasa dengan reaksi terhadap kosakata (diksi) yang
serius, kaku, muluk, megah, atau tidak menarik. Contoh untuk ini adalah yang
diciptakan oleh Debby Sahertian dkk. atau ragam bahasa Sunda pemuda Bandung
tahun 70-an.
Jargon adalah seperangkat istilah dan ungkapan yang dipakai
satu kelompok sosial atau kelompok profesi, tapi tidak dipakai dan sering
sekali tidak dimengerti oleh masyarakat ujaran secara keseluruhan. Contoh:
istilah morfologi bagi orang bahasa dimengerti sebagai ilmu bentuk bahasa,
tetapi bagi orang yang berkecimpung di dunia geologi istilah tersebut
dimengerti sebagai ilmu bentuk tanah. Karena itu, jika dalam percakapan kedua
orang dari dua kubu ini menggunakan istilah mereka masing-masing tanpa
penjelasan, walaupun kata-kata atau istilahnya persis sama, kemungkinan akan
terjadi salah pengertian.
Argot mirip dengan jargon, maka ada yang menyamakan, ada
juga yang membedakan. Dalam keseharian argot sering digunakan oleh kelompok
tertentu, terutama anak muda. Umumnya argot muncul dalam bentuk singkatan atau
akronim. Misalnya: gersang ‘segar dan merangsang’, SMS ‘susu mami sedap’, kece
‘keren dan cakep’.
Register adalah ragam bahasa yang digunakan untuk maksud
tertentu, sebagai kebalikan dari dialek sosial atau regional (yang bervariasi
karena penuturnya). Register bisa dibatasi lebih sempit dengan acuan pada pokok
ujaran (pokok pembicaraan, misalnya, mengail, judi); pada media (modus wacana,
misalnya, bahan cetak, surat tertulis); atau pada tingkat keformalan (tingkah
wacana, misalnya, formal, biasa, intim).
Berdasarkan itu semua, pemakaian bahasa bergantung pada diri
kita masing-masing. Kita mau memilih ragam atau dialek apa, kita sendiri yang
menentukan karena kita yang punya kepentingan dan maksud tertentu. Kita pula
yang punya status dan kemampuan berbahasa. Kita pula yang tahu waktu dan
situasi. Boleh-boleh saja kita mengikuti gaya mantan presiden Soeharto atau
mantan menteri Mien Soegandhi yang tampak kejawaannya, atau J.S. Badudu yang
tidak menampakkan kegorontaloannya, atau Hetty Koes Endang yang tampak
kesundaannya, atau Jojon dan Mpok Ati (dua orang Sunda yang menjakarta), atau
mau ngikut tetangga kita yang memarahi anaknya, “Da kata mamah juga, jangan
ngikutin kakak ngumpet di kolong meja atuh, jadi we kamu tidagor.”
Ada juga seorang pemimpin komisi di DPR baru-baru ini
mengatakan, “Kami mensapor sepenuhnya.” Dalam bahasa Indonesia, kata mensapor
berarti berasal dari kata dasar sapor ditambah imbuhan men- (yang seharusnya
menjadi menyapor). Carilah kata sapor dalam kamus bahasa Indonesia. Pasti tidak
ada karena yang dimaksud Tuan DPR adalah support. Maunya si Tuan memasukkan
kata berbahasa Inggris, tetapi ternyata tidak kena karena yang keluar bukan
bahasa Inggris, bukan pula bahasa Indonesia (kaciaaaaaan dech lo). Kalaupun
kata support mau dijadikan bahasa Indonesia, ya harus menjadi supor dan jika
diimbuhi men- berubah menjadi menyupor (bandingkan export–import menjadi
ekspor–impor). Gitchu donk seh ah!
Atau ada pejabat di BUMN pupupl dalam sambutan resminya
mengatakan hal serupa, ”Produk yurea tahun ini mengalami peningkatan dibanding
tahun sebelumnya......” Urea yang mestinya diucapkan urea, oleh pejabat
tersebut diucapkan menggunakan pengucapan bahasa Inggris.
Dibagaimanakan pun, bahasa tidak akan protes. Yakinlah! (Ragam) bahasa layu dan berkembang, bergantung pada pemakai. Jika pemakai sudah jemu, bahasa akan layu, atau bahkan mati. Jika pemakainya setia, bahasa pun terus jaya. Inilah gejala sosial yang terjadi dalam penggunaan bahasa.
Dibagaimanakan pun, bahasa tidak akan protes. Yakinlah! (Ragam) bahasa layu dan berkembang, bergantung pada pemakai. Jika pemakai sudah jemu, bahasa akan layu, atau bahkan mati. Jika pemakainya setia, bahasa pun terus jaya. Inilah gejala sosial yang terjadi dalam penggunaan bahasa.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Variasi bahasa adalah suatu wujud perubahan atau perbedaan
dari pelabagai manifestasi kebahasaan namun tidak bertentangan dengan kaidah
kebahasaan. (Paul, 2002:46).
Contoh beberapa variasi bahasa, diantaranya variasi
morfofonemis. Bahwa dalam penggunaan bahasa ada tiga variasi morfer /ber-/ , ber-,
ber-, dan bel- saat digabungkan dengan bentuk dasar. Menjadi ber bila kata
dasarnya kata, menjadi berkata. Menjadi be- bila kata dasarnya renang, menjadi
berenang, lalu menjadi bel- bila kata dasarnya ajar, menjadi belajar.
Ada juga variasi pragmatik, misalnya dalam konteks, seorang
pemilik mobil menegur sopirnya yang memacu kijang tua di tol dengan kecepatan
120 km/jam.
Pemilik
mobil: Mas, coba lihat papan di depan!
Sopir
: Baik, pak (serta merta kecepatan kendaraan diturunkan menjadi hanya 90 km/jam).
B. Saran
Makalah ini masih jauh dari kata
sempurna untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan
dari para pembaca sekalian demi
kesempurnaan makalah ini kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer,
Abdul dan Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nababan,
P.W.J. 1994. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Gramedia: Jakarta.
Ohoiwutun,
Paul. 2002. Sosiolinguistik: Memahami bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan.
Kesaint Blanc: Jakarta.
Rusyana,
Yus. 1988. Perihal Kedwibahasaan (Bilingualisme). Jakarta: Depdikbud, Dirjen
Dikti, P2LPTK.
Tarigan,
Henry Guntur. 1989. Pengajaran Kedwibahasaan Suatu Penelitian Kepustakaan.
Jakarta: Depdikbud: Dirjen Dikti, P2LPTK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar