I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Bahasa
merupakan sistem komunikasi yang amat penting bagi manusia. Bahasa merupakan
alat komunikasi manusia yang tidak terlepas dari arti atau makna pada setiap
perkataan yang diucapkan. Sebagai suatu unsur yang dinamik, bahasa sentiasa
dianalisis dan dikaji dengan menggunakan perbagai pendekatan untuk mengkajinya.
Antara lain pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa ialah
pendekatan makna. Semantik merupakan salah satu bidang linguistik yang mempelajari
tentang makna.
Dalam
kajian bahasa, semantik merupakan salah satu cabang yang cukup kompleks. Dikatakan
demikian karena makna sebagai objek kajian disamping sifatnya yang abstrak juga
menyangkut proses mental-psikologis dan tingkah laku. Di dalam pemakaian bahasa
seiring dengan perkembangan bahasa banyak sekali perubahan dan perkembangannya.
Hal ini sangat erat kaitannya dengan pola pikir manusia dan konsep-konsep yang
tidak pernah berhenti, sehingga hal ini mengakibatkan sejumlah permasalahan
yang muncul.
Bahasa
berkembang terus seiring berkembangnya pemikiran pemakaian bahasa. Karena
pemikiran bahasa berkembang, maka pemakaian kata dan kalimat menjadi berkembang
pula. Perkembangan tersebut dapat berwujud penambahan atau pengurangan. Karena
kata dan kalimat yang mengalami perubahan tersebut, maka dengan sendirinya
perubahan maknanya pun berubah. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan
dibahas mengenai perubahan makna.
Penulis akan memaparkan
sebuah penegasan materi tentang makna kata wanita dan perempuan. Perbedaan makna kata wanita dengan perempuan belumlah jelas. Makadari itu bahasan artikel ini mencoba mendudukkan posisi tiap kata, kapan orang
harus menggunakannya sesuai dengan kandungan semantiknya dan maksud yang diinginkan. Dengan demikian, diharapkan segera bisa dijawab saat
harus memilih manakah yang tepat: "Darma Wanita" ataukah "Darma
Perempuan", "Pemberdayaan Perempuan" ataukah "Pemberdayaan
Wanita". Humpty Dumpty mengatakan, “jika saya menggunakan kata, itu berarti
bahwa apa yang saya pilih adalah maknanya – tidak lebih dan tidak kurang”.
II. PEMBAHASAN
Ada sebuah
pernyataan menarik yang keluar dari seorang Rabelais (tokoh lama yang menekuni
sumber-sumber onomatope dalam bahasa), saat orang-orang Yunani dahulu terbagi
ke dalam dua kubu yang berlawanan yaitu naturalis dan konvensionalis. Berikut
pernyataannya “Tidaklah benar kalau kita katakan kita mempunyai suatu bahasa
alamiah; bahasa itu didasarkan pada lembaga kesewenangan (arbitrary
institutions) dan konvensi di antara rakyat (penuturnya); kata itu
mempunyai arti (signify) tidak secara alamiah melainkan karena
kesewenangan”. Namun dalam abad-abad berikutnya teori naturalisme mendapat
tempat ketika orang berbicara tentang asal mula bahasa. (Sumarsono.
2007. Pengantar Semantik. Yogyakarta : Pustaka pelajar, hal. 97).
Kemudian, di antara para linguis modern, kira-kira dua puluh enam
tahun yang lalu, perdebatan kuno ini kembali membara dalam diskusi jilid
pertama jurnal Acta linguistica. Kita sekarang tahu, tidak ada akhirnya
untuk bertanya apakah bahasa itu konvensional atau “dimotivasi” (motivated):
tiap ungkapan (idiom) terdiri dari kata-kata yang bersifat arbitrer
(sewenang-wenang) dan kabur (opaque), tanpa sesuatu hubungan antara
bunyi dengan makna, dan ada kata-kata lain yang setidak-tidaknya pada tingkat
tertentu dimotivasi dan jelas (transparent). Sekarang menjadi jelas, ada
tiga segi motivasi yang bisa kita lihat, yaitu bagaimana motivasi itu bekerja
dalam sesuatu bahasa; bagaimana motivasi itu bisa berubah sepanjang waktu;
bagaimana ruang lingkupnya dari satu bahasa ke bahasa yang lain.
(Sumarsono. 2007. Pengantar Semantik. Yogyakarta : Pustaka
pelajar, hal. 98).
Jika kaitan
antara nama dan makna itu memang perlu ada, kita dapat mengharapkan kedua unsur
itu tidak akan berubah, tapi kenyataannya, keduanya berubah, masing-masing
berubah tanpa tergantung pada yang lain. Dalam bahasa Indonesia kata saya
dulunya berbentuk sahaya dengan makna ‘budak’. Begitulah, sebagian besar kata
sepenuhnya konvensional, sedangkan sebagian lagi dimotivasi dengan berbagai
cara. Motivasi itu bias terletak pada bunyi-bunyi itu sendiri, atau pada
struktur morfologi kata, atau pada latar belakang maknanya. (Sumarsono. 2007. Pengantar
Semantik. Yogyakarta : Pustaka pelajar, hal. 99).
Dua
kecenderungan yang saling bertentangan selalu ada sepanjang selalu ada waktu
dalam perkembangan bahasa: banyak kata kehilangan motivasinya sedangkan yang
lain kabur (atau sedang menjadi kabur, menjadi jelas (transparan), dalam
perjalanan sejarah. (Sumarsono. 2007. Pengantar Semantik. Yogyakarta
: Pustaka pelajar, hal. 114).
A. Arti Kata Betina
Kata betina diduga
kuat berhubungan dengan kata batina dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) dalam Kamus Jawa Kuno
Indonesia karya Mardiwarsito tahun 1986. Bahasa Kawi sendiri kemungkinan besar
menyerapnya dari bahasa Sanskrit (Sanskerta). Relasi fonis batina dengan betina beranalogi
dengan relasi fonis mahardika,
mardika, merdeka 'bebas'.
Mungkin ini juga analog dengan saksama-seksama (?).
Menurut
"Kamus Dewan" (KD) (Iskandar, 1970: 114), kata betina merupakan
antonim jantan. Dalam pemakaiannya, betina cocok
dilekatkan sebagai pemarkah jenis (gender) binatang atau benda yang tidak
hidup. Misalnya dalam bahasa Indonesia (Melayu) kita temui ayam betina, singa betina, bunga betina, dan embun
betina.
Tidak
jauh berbeda dengan KD, "Kamus Besar Bahasa Indonesia" (KBBI) (Tim,
1988: 111) menambahi satu makna lagi untuk betina, yakni 'sanak keponakan dari istri'. Ada dua hal yang
dapat dicatat dari tambahan acuan di sini. Pertama, istilah "sanak
keponakan" menunjukkan posisi generasi lebih muda. Sebagai yang lebih
muda, tentu dia tetap berada di bawah generasi lebih tua. Kedua, pernyataan
"dari istri" berarti bahwa yang dipandang bawah, yunior, itu karena
istri, dan istri selalu perempuan! Oleh karena itu, ini juga menyiratkan muatan
semantis bahwa apa yang datang dari istri (bukan suami) akan ditempatkan di
bawah suami.
Sebagai
nama jenis kelamin binatang, betina tidak mengundang persoalan; netral saja. Tidak ada
muatan nuansa apa pun. Bagaimana seandainya kata ini dipakai untuk manusia? Ini
baru masalah! Jika dikaitkan dengan aktivitas, keberadaan, dan sifat manusia,
artinya menjadi tidak netral lagi. Peribahasa Melayu "Baik jadi ayam
betina sepaya selamat" (Iskandar, 1970: 114), misalnya, berarti 'kita tak
usah menonjolkan keberanian sebab hanya mendatangkan kesusahan belaka'; dengan
kata lain, 'sebaiknya kita diam, tak usah macam-macam, hindarilah tantangan'.
Dengan demikian "bersikap betina" justru dinilai positif dalam pandangan
lama.
Bisa
dimengerti, sebagai peribahasa Melayu Kuno, kandungan nilai peribahasa ini juga
tradisional, konvensioanl, dan feodal. Dalam pandangan tradisional, sikap
individualistik mesti dihindari (cf. Dananjaya, 1984). Ini jelas bertolak
belakang dengan pandangan modern, yang menempatkan eksistensi individu pada
tempat yang diakui. Oleh karena itu, penonjolan individu tidak selalu jelek,
bergantung pada konteks kepentingannya.
Dalam
pemakaiannya sekarang, kata betina yang dikenakan pada manusia akan menemukan makna
buruk. Misalnya pada wacana berikut:
(1) Kamu ini kok cerewet banget sih. Urus saja
diri sendiri. Ngapain tanya urusan orang segala. Dasar betina!
(2) Winda benar-benar betina, yang nafsunya
terlampau besar, hingga tak pernah puas hanya dengan satu lelaki suaminya itu.
Dalam
wacana (1), kalimat "Dasar betina" bermakna negatif: 'cerewet, usil,
mau tahu urusan orang saja'. Dalam kalimat (2), pernyataan "benar-benar
betina", berdasarnya konteks kalimatnya, berarti "minor" juga:
'nympomania'. Di sini Winda digambarkan sebagai perempuan yang bernafsu
menggebu-gebu, selingkuh dengan lelaki lain. Pada konteks inilah betina menemukan
makna buruknya. Harus diakui bahwa semua pandangan ini tidak pernah bebas dari
stereotipe gender perempuan dari masyarakat kita (Kweldju, 1993). Maka, dalam
kondisi apa pun tak pernah ada yang senang disebut betina. Dengan demikian,
yang muncul adalah Darma Wanita (organisasi ibu-ibu pegawai) dan Bukan
Perempuan Biasa dan tentulah tentu bukan "*Darma Betina" atau pun
"*Bukan Betina Biasa".
Singkat
kata, kata betina memuat
makna (1) 'jenis kelamin binatang', (2) 'cerewet, usil, dan (3) 'haus seks',
serta (4) 'generasi yunior dari garis istri'.
B. Arti Kata Wanita
Sejarah
kontemporer bahasa Indonesia, ya sekarang ini, mencatat bahwa kata wanita menduduki
posisi dan konotasi terhormat. Kata ini mengalami proses ameliorasi, suatu
perubahan makna yang semakin positif, arti sekarang lebih tinggi daripada arti
dahulu ("Kamus Linguistik", Kridalaksana, 1993: 12).
Menurut
KD (1970: 1342), kata wanita merupakan bentuk eufemistis dari perempuan.
Pada halaman yang sama, dicontohkan frase wanita-wanita genit. Contoh ini paradoksal. Sebab, jikawanita berupakan bentuk halus, mengapa ada kata genit-nya,
sesuatu yang jelas tidak halus. Tetapi, ini juga menyiratkan pandangan bahwa
kata itu memang khas untuk manusia (perempuan), bukan lelaki, binatang, demit,
ataukah benda lain.
Kata
kewanitaan, yang diturunkan dari wanita, berarti 'keputrian' atau 'sifat-sifat
khas wanita'. Sebagai putri (wanita di lingkungan keraton), setiap wanita
diharapkan masyarakatnya untuk meniru sikap laku, gaya tutur, para putri
keraton, yang senantiasa lemah gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, mendukung,
mendampingi, mengabdi, dan menyenangkan pria. Dengan kata wanita, benar-benar
dihindari nuansa 'memprotes', 'memimpin', 'menuntut', 'menyaingi',
'memberontak', 'menentang', 'melawan'. Maka, bisa dimengeri bahwa yang muncul
dipilih sebagai nama organisasi wanita bergengsi nasional adalah "Darma
Wanita", sebab di sinilah kaum wanita berdarma, berbakti, mengabdikan
dirinya pada lembaga tempat suaminya bekerja. Maka, program kerjanya pun harus
selalu mendukung tugas-tugas dan jabatan suami, jangan bermimpi bisa independen
memang bukan itu misinya.
Dalam KBBI (1988: 1007),
wanita berarti 'perempuan dewasa'. Meski dengan redaksi lain, KBBI pun mendefinisikan
kewanitaan (bentuk derivasinya) sebagai "yang berhubungan dengan wanita,
sifat-sifat wanita, keputrian". Muatan makna aktif, menuntut hak, radikal,
tak ada dalam arti kata ini. Berdasarkan "Old Javanese English Dictionary"
(Zoetmulder, 1982), kata wanita berarti 'yang diinginkan'. Arti 'yang
dinginkan' dari wanita ini sangat relevan dibentangkan di sini. Maksudnya,
jelas bahwa wanita adalah 'sesuatu yang diinginkan pria'.
Makna wanita sebagai
'sasaran keinginan pria' juga dipaparkan oleh Prof. Dr. Slametmuljana dalam
"Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara" (1964: 59--62). Kata wanita,
dalam bahasa aslinya (Sanskerta), tulisnya, bukan pemarkah (marked) jenis
kelamin. Dari bahasa Sanskerta vanita, kata ini diserap oleh bahasa Jawa Kuno (Kawi)
menjadi wanita, ada perubahan labialisasi dari labiodental ke
labial: [v]-->[w]; dari bahasa Kawi, kata ini diserap oleh bahasa Jawa
(Modern); lalu, dari bahasa Jawa, kata ini diserap ke dalam bahasa Indonesia.
Setelah diadopsi bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, kata ini mengalami tambahan
nilai positif.
Ada juga pandangan lain, yang cukup
"menyakitkan", yakni bahwa kata wanita bukanlah produk kata asli
(induk). Kata ini hanyalah merupakan hasil akhir dari proses panjang perubahan
bunyi dari kata betina. Urutan prosesnya demikian. Mula-mula kata betina
menjadi batina; kata batina berubah melalui proses metatesis menjadi banita;
kata banita mengalami proses perubahan bunyi konsonan (kontoid) dari
[b]-->[w] sehingga menjadi wanita. Maka, memang aneh bin ajaib, bahwa kata
yang demikian kita hormati, bahkan kita letakkan pada tempat tinggi di atas
kata perempuan ini, maksudnya ya wanita itu, ternyata berasal dari kata rendah
betina.
Mungkin karena itulah, organisasi "Ikatan
Wanita Pengusaha Indonesia" (Iwapi) sering dipelesetkan artinya tentu
saja, oleh pria menjadi "Iwak-e Papi-papi", "Dagingnya
bapak-bapak" atau "Lauknya Bapak-bapak" seakan wanita itu tak
lebih dari "daging" atau "lauk-pauk" yang bisa dikonsumsi
oleh pria. Dalam karier militer pun, dipakai wanita. Misalnya saja "Korps
Polisi Wanita" (Polwan, 1948), "Korps Wanita Angkatan Darat"
(Kowad, 1961), "Korps Wanita Angkatan Laut" (Kowal, 1962),
"Korps Wanita Angkatan Udara" (Wara, 1963). Meskipun begitu,
pelecehen keterlibatan dan kemampuan wanita dalam tubuh ABRI pun masih terjadi.
Terang-terangan memang tidak, tetapi ada dalam bentuk ungkapan humor di
masyarakat (Dananjaya, 1984), misalnya berikut ini.
Seorang
komandan serdadu pada suatu front peperangan memerintahkan penarikan mundur
khusus serdadu wanita. Alasannya, mereka melanggar disiplin medan.
Serdadu-serdadu wanita, yang merasa tidak membuat kesalahan disiplin militer,
memprotes ramai-ramai. "Kesalahan??? Kesalahan apa itu, Komandan? Ini
tidak adil!" Jawab Komandan dengan kalem, "Kamu sih, setiap diberi
komando 'tiaraaap ...', ee kamu malah terlentang."
Ini
merupakan pantulan realitas bahwa apa pun yang dilakukan wanita tetaplah tak
sanggup menghapus kekuasaan pria. Wanita berada dalam alam tanpa otonomi atas
dirinya. Begitulah inferioritas wanita akan selalu menderita gagap, gagu, dan
gugup di di bawah gegap gempitanya superioritas pria.
Berdasarkan etimologi rakyat Jawa (folk etimology,
jarwodoso atau keratabasa, kata wanita dipersepsi secara kultural sebagai 'wani
ditoto'; terjemahan leksikalnya 'berani diatur'; terjemahan kontekstualnya
'bersedia diatur'; terjemahan gampangnya 'tunduklah pada suami' atau 'jangan
melawan pria'. Dalam hal ini wanita dianggap mulia bila tunduk dan patuh pada
pria. Sering ada ungkapan "pejang gesang kula ndherek" (hidup atau
mati, aku akan ikut suami), "swargo nunut, neraka katut" (suami masuk
surga aku numpang, suami masuk neraka aku terbawa). Ternyata anggapan Jawa ini
merasuk kuat dalam bahasa Indonesia. Kesetiaan wanita dinilai tinggi, dan soal
kemandirian wanita tidak ada dalam kamus. Karenanya, dalam bahasa Indonesia
kata wanita bernilai lebih tinggi sebab, kata Ben Anderson (1966), bahasa
Indonesia mengalami "jawanisasi" atau "kramanisasi":
kulitnya saja bahasa Melayu yang egaliter, tetapi rohnya bahasa Jawa yang
feodal.
Dalam
persepsi kultural Jawa pulalah, kata wanita menemukan perendahan martabat
ketika ia "dipakai" salah satu barang
klangenan (barang-barang untuk
pemuasaan kesenangan individu). Jargon lengkap populernya adalah harta,
senjata, tahta, wanita. Lelaki Jawa, menurut persepsi Jawa ini, baru
benar-benar mampu menjadi lelaki sejati, lelananging jagat, bila telah
memiliki kekayaan berlimpah (harta), melengkapi diri dengan kesaktian dan
senjata (senjata), agar dapat memasuki kelas sosial yang lebih tinggi, priyayi
(tahta), dan semuanya baru lengkap bila sudah memiliki banyak wanita, entah
sebagai istri sah entah sekadar selir atau gundik4). Di sini tampak benar bahwa
manusia wanita disederajatkan dengan benda-benda mati semacam degradasi harkat
martabat salah satu gender5), sekaligus dehumanisasi.
Dengan
demikian, untuk sementara bisa segera ditarik kata simpul: wanita berarti
'manusia yang bersikap halus, mengabdi setia pada tugas-tugas suami'. Suka atau
tidak, inilah tugas dan lelakon yang harus dijalankan wanita. Apakah memang
demikian?
C. Arti Kata Perempuan
Dalam
pandangan masyarakat Indonesia, kata perempuan mengalami degradasi semantis, atau peyorasi, penurunan
nilai makna; arti sekarang lebih rendah dari arti dahulu (Kridalaksana, 1993). Di
pasar pemakaian, terutama di tubuh birokrasi dan kalangan atas, nasib perempuan
terpuruk di bawah kata wanita, sehingga yang muncul adalah Menteri Peranan Wanita,
pengusaha wanita (wanita pengusaha), insinyur wanita, peranan wanita dalam
pembangunan, dan pastilah bukan *Menteri Peranan Perempuan, *pengusaha
perempuan (*perempuan pengusaha), *insinyur perempuan, *peranan perempuan dalam
pembangunan.
Dalam
KD (1970: 853), kata perempuan berarti 'wanita', 'lawan lelaki', dan 'istri' .
Menurut KD, ada kata raja
perempuan yang berarti
'permaisuri'. Dengan contoh ini kata ini tidak berarti rendah. Sementara itu,
kata keperempuanan berarti 'perihal perempuan', maksudnya pastilah
masalah yang berkenaan dengan keistrian dan rumah tangga. Dalam hal ini, meski
tidak terlalu rendah, tetapi jelas bahwa kata ini menunjuk perempuan sebagai
'penunggu rumah'.
KBBI
(1988: 670) memberikan batasan yang hampir sama dengan KD, hanya ada tambahan
sedikit, tetapi justru penting, untuk kata keperempuanan. Menurut KBBI, keperempuanan juga
berarti 'kehormatan sebagai perempuan'. Di sini sudah mulai muncul kesadaran
menjaga harkat dan martabat sebagai manusia bergender feminin. Tersirat juga di
sini makna 'kami jangan diremehkan' atau 'kami punya harga diri'.
Dalam
tinjauan etimologisnya, kata perempuan bernilai cukup tinggi, tidak di bawah, tetapi sejajar,
bahkan lebih tinggi daripada kata lelaki. Ah, masa?!! Ya. Jelasnya begini.
- Secara etimologis, kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti 'tuan', 'orang yang mahir/berkuasa', atau pun 'kepala', 'hulu', atau 'yang paling besar'; maka, kita kenal kata empu jari 'ibu jari', empu gending 'orang yang mahir mencipta tembang'.
- Kata perempuan juga berhubungan dengan kata ampu 'sokong', 'memerintah', 'penyangga', 'penjaga keselamatan', bahkan 'wali'; kata mengampu artinya 'menahan agar tak jatuh' atau 'menyokong agar tidak runtuh'; kata mengampukan berarti 'memerintah (negeri)'; ada lagi pengampu 'penahan, penyangga, penyelamat', sehingga ada kata pengampu susu 'kutang' alias 'BH'.
- Kata perempuan juga berakar erat dari kata empuan; kata ini mengalami pemendekan menjadi puan yang artinya 'sapaan hormat pada perempuan', sebagai pasangan kata tuan 'sapaan hormat pada lelaki'.
Prof.
Slametmuljana (1964: 61) pun mengakui bahwa kata yang sekarang sering
direndahkan, ditempatkan di bawah wanita, ini berhubungan dengan makna 'kehormatan' atau
'orang terhormat'. Tetapi, yang dilihatnya di masyarakat lain lagi. Maka, ia pun
tidak mampu menyembunyikan keheranannya berikut:
"... Yang agak aneh dalam tjara berpikir ini
ialah apa sebab perempuan tempat kehormatan itu semata-mata diperuntukkan bagi
wanita, sedangkan hormat dan bakti setinggi-tingginya menurut adat ketimuran
djustru datang dari kaum wanita, terhadap suami."
Itulah
sebabnya, tidak sedikit aktivis gerakan perempuan baik yang di bawah payung
lembaga pendidikan formal maupun yang lebih suka malang melintang di alam bebas
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lebih suka memilih kata perempuan daripada
wanita untuk organisasi mereka. Misalnya Solidaritas Perempuan (Jakarta),
Yayasan Perempuan Merdika (Jakarta), Asosiasi Perempuan Indonesia untuk
Keadilan (APIK, Jakarta), Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA,
Yogyakarta), Sekretariat Bersama Perempuan Yogya (Yogyakarta), Forum Diskusi
Perempuan Yogya, Suara Hati Perempuan, Kelompok Perempuan untuk Kebebasan Pers
(KPKP), dan Gerakan Kesadaran Perempuan--sekadar menyebut beberapa contoh.
Menarik untuk dicontohkan di sini bahwa nama jurnal keperempuanan terbitan LIPI
adalah "Warta Studi Perempuan" dan bukan *Warta Studi Wanita.
Sementara itu, jika dahulu "Women Study" diterjemahkan menjadi
"Kajian Wanita", sekarang muncul saingan baru, "Studi
Perempuan".
Dari
sudut sejarah pergerakan nasional pun, kata perempuanlah yang telah menyumbangkan kontribusi historisnya.
Kita ingat, kongres pertama organisasi "lawan tanding lelaki" ini
dinamainya "Kongres Perempoean Indonesia Pertama, yang berlangsung pada 22
Desember 1928 di Yogyakarta (Rahayu, 1996).6) Dalam Kongres I ini disepakati
bahwa persamaan derajat hanya dapat dicapai bila susunan masyarakatnya tidak
terjajah. Langkah organisasi pertama yang dilakukan adalah membentuk
"Perserikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia" (PPPI). Bahwa dalam
perjalanan sejarah lahir Kowani, Perwari, Perwani, KNKWI, BMOIWI, Ikwandep
perhatikan, selalu ada huruf /W/ setidaknya itulah jejak-jejak historis lingual
bahwa kita lebih memilih "wanita", dan bukan "perempuan",
sebab yang kita kehendaki bukan perempuan mandiri, melainkan perempuan penurut.
(Silahkan pembaca menjawab sendiri, apakah setelah lebih dari setengah abad
kemerdekaan ini kaum perempuan telah mencapai persamaan derajat, seperti impian
Kongres I).
Sejak
kemerdekaan, seperti disebut di atas, derap Kongres Perempoewan Indonesia sudah
(di)musnah(kan) dari peredaran. Muncul pengganti-penerusnya: Kongres Wanita
Indonesia (Kowani) sejak menjelang kemerdekaan, yang relatif lunak, umumnya
terdiri atas para istri pegawai. Mungkin sejak inilah wanita secara resmi
menggeser perempuan. Sejak saat itu setiap partai-partai politik di Indonesia
juga mempunyai anak organisasi wanita, bukan perempuan, misalnya Wanita
Demokrat dan Gerakan Wanita Marhaen (PNI), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani,
PKI), dan pasca-1965 ada Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari), serta
Dharma (1974) (Rahayu, 1996: 30-31).
D. Perempuan Disembah-sembah, Itu Dulu ...
Dahulu
sesuatu yang bersifat perempuan dihormati, dijunjung tinggi. Dalam hal ini kita
tak lagi mempersoalkan perbedaan istilah wanita,
perempuan, betina, atau pun ibu, bunda, mbaktu, biyung, mama, dewi, putri, ratu. Kita bicarakan hal itu secara global saja. Dahulu
kaum ibu dikatakan sebagai "tiang masyarakat", diluhurkan sebagai
"ratu kehidupan", dan dimitoskan sebagai "danyang kesuburan alam
semesta", serta disembah-sembah
sebagai "penentu awal kehidupan manusia di bumi".
Zaman
sekarang kaum ibu selalu dituding sebagai sumber kesalahan, terutama
berhubungan dengan kenakalan anak-anak. Bukankah mendidikan anak itu tugas
seorang ibu, bukan bapak? Karena perempuan mengalami domestifikasi peran, bila
terjadi kericuhan keluarga, ibulah yang layak dikorbankan sebagai kambing
hitam. "Ini gara-gara terlalu kau manja," atau juga "coba, kalau
kamu mendidiknya benar, anak kita tidak binal seperti ini," begitu kata
ayah. Dahulu, nasib ibu tidak seburuk ini, tidak dituding sebagai biang kerok
perkara. Dia sangat dibela, dibersihkan dari tuduhan. Posisinya sebagai peletak
awal kehidupan manusia sangat menentukan, karena dari guwagarba rahimnyalah,
manusia di bumi ini berasal. Oleh karena itu, jika ada anak yang nakal, ibu
akan dibela, sehingga ungkapan yang muncul adalah "Bukan salah bunda
mengandung" dan bukan ungkapan "*Bukan salah ayahnda menghamili"
atau "*Bukan salah ayahnda membuahi". Ini bukti pengakuan bahwa
mengandung itu lebih bernilai tinggi daripada menghamili (Kweldju, 1991).
Karena yang mengandung itu biasanya ibu, ibulah yang lebih diharga.
Pelesetan-pelesetan
di masyarakat terhadap kata-kata tertentu juga menggambarkan seberapa jauh
nilai dominasi pria terhadap wanita ini hendak menandingi pemahaman masyarakat
terhadap hakikat suatu kata. Semula, berdasarkan etimologi rakyat (jarwodosok,
keratabasa) Jawa, kata "garwo", misalnya, dipersepsi sebagai
"sigaraning nyowo" (belahan jiwa). Di sini, kedudukan seorang istri
cukup terhormat, sejajar, sama, segaris, dan komplementer dengan suami; tidak
ada nuansa dominasi dan subordinasi antargender. Memang, garwo adalah
kata yang netral, egaliter, tidak memihak salah satu jenis kelamin (bias
gender). Ia bisa mengacu baik kepada "garwo jaler" (suami) maupun
"garwo estri" (istri). Akan tetapi, selanjutnya inilah kurang ajarnya
pemahaman terhadap kata garwo telah dipelesetkan sebagai "sigar tur dowo"
(terbelah dan lagi panjang), sesuatu yang bisa mengundang kesan porno dan
pelecehan. Tidak sulit ditebak siapa pelaku pemelesetan ini: pastilah dari
barisan pria.
Tidak
hanya persepsi kultural masyarakat, agama pun meletakkan ibu pada posisi sangat
terhormat. Dalam Islam, misalnya, ada hadis yang sangat terkenal berkenaan
dengan ini, yakni "Surga itu di bawah telapak kaki ibu". Maka,
menurut pandangan ini, tempat berbakti adalah ibu, ibu, dan ibu, kemudian baru
ayah. Mungkin karena kecemburuan religiusitas-gender, di masyarakat kami pernah
mendengar pelesetan sinis terhadap ini tentu saja dari kaum bapak.7) Surah
paling Al-Fatihah, saripati dari semua surah dalam Kitab Suci Quran, misalnya,
disebut "Ummul Qur'an" dan bukan "Abul Qur'an" (Nadjib,
1996). Dalam agama lain pun kurang lebih sama. Begitulah ...
E. Perempuan Indonesia, Akan ke Manakah Anda?
Di
sini jelas sekali bahwa jika yang kita maksudkan adalah sosok yang mengalah,
rela menderita demi pria pujaan, patuh berbakti, maka pilihlah kata wanita.
Maka, yang tepat tetaplah "Darma Wanita" memang dimaksudkan untuk
berbakti. Tetapi, jika kita berbicara soal peranan dan fungsinya, soal
pemberdayaan kedudukan, soal pembelaan hak asasi, soal nasib dan martabatnya,
tidak ada jalan lain, gunakan kata perempuan, semisal "peranan perempuan dalam
perjuangan", "gerakan pembelaan hak-hak perempuan pekerja".
Setuju?
Bisa
dipastikan siapa pun akan ragu, jika hati harus lebih berpihak pada perempuan
daripada pada wanita. Justru, itulah bukti hebatnya hegemoni patriarki dalam masyarakat
mana pun, sehingga jangankan yang menguasai, yakni pria, yang dikuasai pun,
yaitu wanita, merasa takut, khawatir, bahkan merasa menikmati
"penguasaan" itu. Bagi kelompok terakhir ini, hegemoni kekuasaan pria
akan dinikmatinya sebagai "perlindungan" dan "kasih
sayang". Ditindas kok tidak melawan. Mengapa? Sulit menjawabnya. Mungkin
kaum wanita tergolong makhluk ajaib, yang suka menyiksa diri, menyimpan samudra
kesabaran luar biasa, suka berkorban, memang karena tak berdaya, atau jangan-jangan
mereka berjiwa masokistis, suatu jenis kenikmatan dalam penindasan. Jiwa mereka
berada dalam situasi terpenjara (captive mind). Akhirnya, Perempuan
Indonesia, terserah saja, Anda mau ke mana ...?
III. KESIMPULAN
Dalam
artikel Lih. Ruth
Indiah Rahayu, Opcit., hal. 29-42, dijelaskan bahwa perempuan dan gerakannya
telah lahir jauh sebelum kemerdekaan RI. Aktivitas pergerakan perempuan terus
berjalan hingga mencapai puncaknya pada 1965. Sejak itu berlakulah proses
domestifikasi (pe-rumah-an) "perempuan" di segala bidang, menjadi
"wanita". Tetapi, bersamaan dengan itu, bermunculan juga berbagai
organisasi "keras" perempuan bergabung dalam Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM).
Orde Baru
merumuskan peran kaum wanita ke dalam lima kewajiban (Pancadarma): (1) wanita
sebagai istri pendamping suami, (2) wanita sebagai ibu pendidik dan pembina
generasi muda, (3) wanita sebagai pengatur ekonomi rumah tangga, (4) wanita
sebagai pencari nafkah tambahan, dan (5) wanita sebagai anggota masyarakat,
terutama organisasi wanita, badan-badan sosial, dan sebagainya yang
menyumbangkan tenaga kepada masyarakat. Perhatikan, di sini yang dinomorsatukan
adalah kewajiban istri sebagai istri mendampingi sang suami tercinta.
Sementara, urusan bergerak di sektor publik (di luar rumah) menduduki nomor
bungsu, artinya tidak dipentingkan. Ini terjadi sebab ada anggapan bahwa di
luar rumah itu urusan lelaki, sedang di dalam rumah (sektor domestik) inilah
tempat tepat wanita (Periksa: Binny Buchori & Ifa Soenarto, "Mengenal
Dharma Wanita". Mayling Oey-Gardiner dkk. (ed.), Perempuan Indonesia: Dulu
dan Kini (Jakarta: PT Gramedia, 1996) hal. 172-193); juga: Ruth I. Rahayu,
"Politik Gender Orde Baru: Tinjauan Organisasi Perempuan Sejak 1980-an.
Prisma XXV/5, Mei 1996: 29-42).
Di sini
jelas sekali bahwa jika yang kita maksudkan adalah sosok yang mengalah, rela
menderita demi pria pujaan, patuh berbakti, maka pilihlah kata wanita. Maka,
yang tepat tetaplah "Darma Wanita" memang dimaksudkan untuk berbakti.
Tetapi, jika kita berbicara soal peranan dan fungsinya, soal pemberdayaan
kedudukan, soal pembelaan hak asasi, soal nasib dan martabatnya, tidak ada
jalan lain, gunakan kata perempuan, semisal "peranan perempuan dalam
perjuangan", "gerakan pembelaan hak-hak perempuan pekerja".
DAFTAR
PUSTAKA
Buchori, B. & I. Soenarto.
1996. Mengenal Dharma Wanita. Hal. 172-193. Mayling Oey-Gardiner dkk.
(ed.), Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia.
Hurford, J.R. 1984. Semantics:
a Coursebook. Cambridge: Cambridge Univ. Press.
Iskandar, T. 1970. Kamus
Dewan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran.
Kweldju, S. 1983. Penelitian
seksisme bahasa dalam kerangka penelitian stereotipi seks. Warta Studi
Perempuan 4(1), 7-18.
Mardiwarsito, L. 1986. Kamus
Jawa Kuno-Indonesia. Cet. III. Ende: Nusa Indah.
Nadjib, E.A. 1966. Ibu
Qur'an, bukan Bapak Qur'an. Padang Mbulan, 2, April: 29-38.
Noerhadi, T. 1991. Studi
Wanita di Indonesia. Makalah Seminar Nasional Wanita 11--13 Juni 1991, di
Wisma Kinasih, Bogor.
Palmer, F.R. 1986. Semantics.
Edisi II, Cet. V. Cambridge: Cambridge University Press.
Rahardi, K. 2006. Dimensi-dimensi
Kebahasaan ‘Aneka Masalah Bahasa Indoensia Terkini’. Yogyakarta: Erlangga.
Rahayu, R.I. 1996. Politik
gender Orde Baru: tinjauan organisasi perempuan sejak 1980-an. Prisma
15(5), Mei: 29-42.
Resmini, N., Iyos A.R.,
Basyuni. 2006. Kebahasaan I (Fonologi, Morfologi, dan Semantik).
Bandung: UPI Pers.
Richards, J., J. Platt, dan H.
Weber. 1987. Longman Dictionary of Applied Linguistics. Cet. II. Harlow:
Longman Group UK Limited.
Slametmuljana. 1964. Asal
Bangsa dan Bahasa Nusantara. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Sumarsono. 2007. Pengantar Semantik. Yogyakarta:
Pustaka pelajar, hal. 65 – 114.
Suryochondro, S. 1996. Perkembangan
gerakan wanita di Indonesia. Hal. 290-310. Oey-Gardiner dkk. (ed.), Perempuan
Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tim Penyusun Kamus Pusat
Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi I. Jakarta: Balai
Pustaka dan Depdikbud.
Wojowasito, S. 1965.
Linguistik: Sedjarah Ilmu (Perbandingan) Bahasa. Djakarta: Gunung Agung.
Zoetmulder, P.J. 1982. Old
Javanese--English Dictionary. 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
boleh koe iki le...
BalasHapus