SMA NEGERI 3 KOTABUMI-LAMPUNG

SMA NEGERI 3 KOTABUMI-LAMPUNG
Wish You All The Best

Minggu, 01 Maret 2015

PERAN MITRA TUTUR DALAM PERISTIWA TUTUR

PERAN MITRA TUTUR DALAM PERISTIWA TUTUR

A.    Pragmatik dan Ruang lingkupnya

Leech (1993) dan Wijana (1996) memandang pragmatik sebagai studi kebahasaan yang terkait dengan konteks. Pragmatik sebagai ilmu bahasa mempelajari kondisi penggunaan bahasa yang digunakan manusia yang ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa itu. Konteks tersebut meliputi konteks yang bersifat sosial dan konteks yang bersifat sosietal. Konteks sosial merupakan konteks yang timbul sebagai akibat dari munculnya interaksi antaranggota masyarakat dalam suatu masyarakat tutur dan budaya tertentu. Sementara itu, konteks sosial dibangun oleh kedudukan anggota masyarakat dalam situasi-situasi sosial yang ada di dalam masyarakat tutur dan budaya tertentu.
Selanjutnya Firth mengemukakan bahwa kajian bahasa tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks situasi yang meliputi, pelibat (participants), tindakan pelibat (baik tindak tutur maupun tidak bukan tutur), ciri-ciri situasi lain yang relevan sepanjang hal itu mempunyai sangkut paut tertentu dengan hal yang sedang berlangsung, dan dampak-dampak tindak tutur yang diwujudkan dengan bentuk-bentuk perubahan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang dituturkan oleh pelibat dalam situasi (Halliday dan Hasan, 1994:11).
Dalam kaitannya dengan cara penyampaian tuturan, pragmatik juga menyelidiki bagaimana cara pendengar dapat menyimpulkan tentang apa yang dituturkan agar dapat sampai pada interpretasi makna yang dimaksudkan oleh penutur. Aspek pragmatik ini menggali betapa banyak sesuatu yang tidak dikatakan ternyata menjadi bagian dari yang disampaikan. Dapat dikatakan bahwa pragmatik merupakan studi pencarian makna tersamar. Adanya ketidaksejajaran antara apa yang dikatakan dengan apa yang dituturkan mengandung suatu persoalan, yakni apa yang menentukan pilihan antara yang dituturkan dengan yang dituturkan. Jawaban yang mendasar atas persoalan ini terikat pada gagasan jarak keakraban. Keakraban, baik keakraban fisik, sosial, konseptual, menyiratkan adanya pengalaman yang sama. Berdasarkan asumsi tentang seberapa dekat atau jauh jarak pendengar, penutur menentukan seberapa banyak kebutuhan yang dituturkan.
Keempat dimensi inilah yang merupakan hakikat pragmatik sekaligus membedakannya dengan studi semantik maupun sintaksis. Perbedaan ketiga jenis kajian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Sintaksis merupakan studi tentang hubungan bentuk-bentuk kebahasaan, bagaimana menyusun bentuk-bentuk linguistik dengan entitas di dunia, yakni hubungan kata-kata dengan sesuatu secara harafiah. Analisis semantik juga berusah membangun antara deskripsi verbal dengan pernyataan-pernyataan hubungan di dunia secara akurat atau tidak, tanpa menghiraukan siapa yang menghasilkan deskripsi tersebut. Sementara itu, pragmatik merupakan studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dengan pemakai bentuk-bentuk itu.
Sejalan dengan perbedaan tersebut, Soemarno (1988:169) berpendapat bahwa semantik berhubungan dengan makna literal (harfiah), sedangkan pragmatik berhubungan dengan makna konotatif (kiasan). Gunarwan (1992:10) mengemukakan bahwa makna dalam semantik ditentukan oleh koteks (co-text), sedangkan makna dalam pragmatik ditentukan oleh konteks (context). Yule (2006) menyatakan bahwa analisis pragmatik berbeda dengan analisis semantik. Dalam kajian semantik, makna didefinisikan berdasarkan ciri-ciri ungkapan dalam suatu bahasa secara terpisah dari situasi, penutur, dan mitra tuturnya. Dengan demikian, pragmatik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan tiga segi, yaitu ungkapan, arti ungkapan, dan sedangkan semantik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang hanya melibatkan dua segi, yakni ungkapan dan artinya.
Cummings (2007) memandang hakikat pragmatik dalam perspektif multidisipliner. Cummings mendasarkan perspektif multidisiplinernya pada definisi baku pragmaik yang diajukan Cruse (2000:16). Berpijak pada definisi tersebut, Cummings (2007) mengidentifikasi lima aspek yang mengarahkan pragmatik pada orientasi multidisipliner. Kelima aspek tersebut adalah: (a) informasi, (b) enkoding. (c) konvensi, (d) konteks, dan (e) penggunaan. Atas dasar inilah Cummings mendeskripsikan definisi baku ini sebagai ‘standar’ untuk memasukkan gagasan-gagasan seperti konteks dan penggunaan, gagasan-gagasan yang sangat pentinga bagi setiap definisi yang tepat dari suatu subjek. Cummings menyimpulkan bahwa hampir-hampir tidak mungkin untuk mendeskripsikan apa yang terlihat dalam pragmatik tanpa mempertimbangkan sifat multidisipliner ke dalam deskripsi tersebut.

B.     Tindak Tutur

Teori tindak tutur pertama kali dimunculkan oleh J.L Austin, seorang guru besar di Universitas Harverd pada tahun 1955 sampai tahun 1962 melalui kuliah-kuliahnya.selai itu, teori tindak tutur diungkapkan dalam karyanya yang berjudul “How to Do things with Words”. Hal tersebut dikemukakan oleh Levinson (1983:228).
Di dalam mengungkapkan ide atau gagasan dengan menggunakan kalimat sebagai medianya, seseorang tidak semata-mata mengatakan sesuatu dengan pengucapan kalimat itu. Di dalam mengucapkan kalimat tersebut, ia juga menindakkan sesuatu. Hal inilah kita namakan dengan istilah tidak tutur (Purwo, 1990:19).
Tindak tutur dalam istilah Indonesianya mengacu pada tindak ujar atau tindak bahasa. Perbedaan istilah ini tidak terlepas dari suatu tindakan (act) tertentu, sebagaimana yang diungkapkan Chaer dan Agustina (1995:65) bahwa tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologi, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Menurutnya, teori tindak tutur sebagai salah satu teori yang mencoba melihat hubungan antara tuturan denga tindakan yang dilakukan oleh penuturnya. tuturan baru memiliki makna jika tuturan tersebut telah direalisasikan dalam bentuk aktivitas komunikasi nyata.
Searle (dalam Rahardi, 2005:35-36) terdapat dalam bukunya Speech Act: An Essy in Philosophy Of Language menyatakan bahwa dalam praktik terdapat tiga macam tindak tutur antara lain: (1) tindak lokusioner, (2) tindak ilokusioner, (3) tindak perlokusi. Tindak lokusioner adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Kalimat ini dapat disebut sebagai the act of saying something. Dalam lokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh si penutur. Jadi, tuturan “tanganku gatal” misalnya, semata-mata hanya dimaksudkan memberitahukan si mitra tutur bahwa pada saat dimunculkannya tuturan itu tangan penutur sedang dalam keadaan gatal.
Tindak ilokusioner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act of doing something. Tuturan “tanganku gatal” diucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan mitra tutur bahwa pada saat dituturkannya tuturan tersebut, rasa gatal sedang bersarang pada tangan penutur, namun lebih dari itu bahwa penutur menginginkan mitra tutur melakukan tindakan tertentu berkaitan dengan rasa gatal pada tangan penutur, misalnya mitra tutur mengambil balsem.
Tindakan perlokusi adalah tindak menumbuh pengaruh (effect) kepada mitra tutur. Tindak tutur ini disebut dengan the act of affecting someone. Tuturan “tanganku gatal”, misalnya dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh (effect) rasa takut kepada mitra tutur. Rasa takut itu muncul, misalnya, karena si penutur itu berprofesi sebagai seseorang tukang pukul yang pada kesehariannya sangat erat dengan kegiatan memukul dan melukai orang lain.
Selanjutnya, Searle (dalam Rahardi, 2005:36) menggolongkan tindak tutur ilokusi itu ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi itu dapat dirangkum sebagai berikut:
1.         Asertif (Assertives), yakni bentuk tuturan yang mengikat penutur pada kebenaranproposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan (stating), menyarankan (suggesting), menbual (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim (claiming).
2.         Direktif (Directives), yakni bentuk tuturan yang dimaksudkan penuturannya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, misalnya, memesan (orderin), memerintah (commanding), memohon (requesting), menasehati (advising), dan merekomendasi (recommending).
3.         Ekspresif (Experssives) adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih (thanking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blambing), memuji (praising), berbelasungkawa (condoling).
4.         Komisif (Commissives), yakni bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji (promising), bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu (offering).
5.         Deklarasi (Declarations), bentu tuturan yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan, misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing), menbaptis (chistening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing), mengucilkan (excommicating), dan menghukum (sentencing).
Tindak tutur adalah unit terkecil dari aktivitas berbicara yang dapat dikatakan memiliki fungsi. Tindakan tersebut dapat berupa melaporkan, menyatakan, memperingatkan, menjanjikan, mengusulkan, menyarankan, mengkritik, dan lain-lain. Hal tersebut bergantung pada tujuan dalam menyampaikan informasi.
Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin dirumuskan sebagai tiga peristiwa tindakan yang berlangsung sekaligus. Menurut Austin (1962), tindak ujar/tindak tutur terdiri atas:
1.         Tindak lokusi adalah melakukan tindakan untuk menyatakan sesuatu.
Contoh: Pa berkata kepada Pk bahwa X.
2.         Tindak ilokusi adalah melakukan suatu tindakan dalam mengatakan sesuatu.
Contoh: dalam mengatakan X, Pa menyatakan bahwa P.
3.         Tindak perlokusi adalah melakukan suatu tindakan dengan menyatakan sesuatu.
Contoh: dengan mengatakan X, Pa meyakinkan Pk bahwa P.
(Leech, 1983:199)
Berikut ketiga tindak tutur di atas dapat diuraikan sebagai berikut:
1.        Tindak lokusi
Tindak lokusi merupakan tindak yang menyatakan sesuatu. Contohnya kalimat (1) ikan paus adalah binatang menyusui, dan (2) jari tangan jumlahnya lima (Wijana, 1996:37). Kalimat tersebut menurut Wijana adalah lokusi karena apa yang diutarakan semata-mata hanya untuk menginformasikan sesuatu.
Tindak tutur lokusi yang diungkapkan oleh Chaer dan Agustina (1995:69) adalah tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Chaer dan Agustina memberikan contoh kalimat (3) Ibu guru berkata kepada saya agar membantunya. Cahyono (1994) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan tindak lokusi adalah pengujaran kata atau kalimat dengan makna atau acuan tertentu. Contohnya (4) Tembak!. Kata Tembak! berarti dia telah melakukan tindakan  lokusi. Dengan demikian, hal yang dipentingkan dalam jenis tindak tutur ini adalah isi tuturan yang diungkapkan penutur.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tindak lokusi merupakan tindakan dalam menyatakan sesuatu tanpa keinginan untuk memengaruhi lawan bicara.
2.        Tindak ilokusi
Wijana (1996:18) menyatakan bahwa tindak tutur ilokusi dikatakan sebagai tindak tutur yang selain berfungsi mengatakan atau menginformasikan sesuatu, juga digunakan untuk melakukan sesuatu. Misalnya, tuturan (5) ruangan ini panas, yang dituturkan oleh penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberitahu bahwa ruangan dalam keadaan panas, namun lebih dari itu bahwa penutur menginginkan mitra tutur untuk melakukan sesuatu atau mengambil tindakan berkaitan dengan ruangan yang sedang panas.
Tindak ilokusi Chaer dan Agustina (1995) adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit. Chaer dan Agustina memberikan contoh ilokusi ini dalam kalimat (6) Ibu guru menyuruh saya agar segera berangkat.
3.        Tindak perlokusi
Tindak tutur perlokusi menurut Chair dan Agustina (1995:70) adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan dengan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistic dari orang lain itu. Misalnya, (7) mungkin Ibu menderita penyakit jantung koroner. Kalimat tersebut jika diucapkan oleh seorang dokter kepada pasiennya dan menyebakan pasien tersebut panik dan sedih. Ucapan dari dokter yang membuat pasien panik dan sedih itulah yang dimaksud tindak perlokusi.
Selanjutnya Brown dan Yule menjelaskan bahwa tindak perlokusi dapat dideskripsikan berdasarkan pengaruh tindak lokusi pada pendengar, atau ada pada kesempatan tertentu. Selain itu, Wijana (1996) menjelaskan  bahwa tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang pengaturannya dimaksudkan untuk memengaruhi kawan tutur.
Menurut kelangsungannya, Wijana (1996) mengelompokkan tindak tutur ke dalam beberapa jenis, yaitu:
1.         Tindak tutur langsung
2.         Tindak tutur tidak langsung
3.         Tindak tutur literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
4.         Tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama/berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
5.         Tindak tutur langsung literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud penguataraannya.
6.         Tindak tutur langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang sesuai dengan modus pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan maksud penutur.
7.         Tindak tutur tidak langsung literal adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan bentuk kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan penutur. Dengan kata lain, makna atau maksud tuturan imperatif dituturkan dalam bentuk kalimat nonimperatif.
8.         Tindak tutur tidak langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna tuturan yang sama dengan maksud penuturnya.
C.    Aspek Situasi Ujaran

Aspek-aspek situasi ujaran perlu menjadi perhatian dalam studi pragmatik. Tarigan (1986:35-36) menyatakan bahwa aspek-aspek situasi ujaran yang perlu diperhatikan dalam studi pragmatik adalah (1) pembicara/penulis dan penyimak/pembaca, (2) konteks ujaran, (3) tujuan ujaran, (4) tindak ilokusi, dan (5) ucapan sebagai produk tindak verbal. Agar lebih jelas, berikut ini diuraikan aspek-aspek situasi ujaran.
1.        Pembicara/penulis dan penyimak/pembaca.
Pragmatik tidak hanya terbatas pada bahasa lisan, tetapi mencakup bahasa tulis. 
2.        Konteks ujaran
Setiap latar belakang pengetahuan yang diperkirakan dimiliki dan disetujui bersama oleh penutur dan penyimak serta yang menunjang interpretasi penyimak terhadap apa yang dimaksud penutur.
3.        Tujuan ujaran
Setiap situasi ujaran mengandung maksud dan tujuan tertentu.
4.        Tindak ilokusi
Pragmatik menggarap bahasa dalam tingkatan yang lebik konkret dibandingkan dengan tata bahasa. Ucapan dianggap sebagai suatu bentuk kegiatan atau suatu tindak ujar/tindak tutur.
5.        Ucapan sebagai produk tindak verbal
Tuturan yang digunakan dalam pragmatik merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh karena itu, tuturan yang dihasilkan merupakan suatu produk tindak verbal.

D.    Panduan dalam Percakapan

Dalam percakapan terdapat beberapa kaidah yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam berinteraksi sesama pemakai bahasa. Cahyono (1994:221) berpendapat bahwa pelaksanaan percakapan itu dipandu oleh seperangkat asumsi. Asumsi itu didasarkan pada pertimbangan rasional yang dapat dirumuskan sebagai panduan untuk menggunakan bahasa secara efektif dan efisien dalam percakapan. Panduan dalam percakan tersebut oleh Grice disebut sebagai maksim.
Keberhasilan suatu percakapan ditentukan oleh terlaksananya prinsip percakapan. Leech (1993:120) membagi prinsip percakapan atau konversasi ke dalam dua bagian, yaitu prinsip kerjasama (cooperative principle) dan prinsip sopan santun (politeness prinsiple). Agar lebih jelas, berikut ini diuraikan kedua prinsip percakapan tersebut.
1.        Prinsip kerja sama
Panduan dalam percakapan oleh Grice disebut sebagai maksim percakapan. Maksim merupakan prinsip-prinsip umum yang mendasari penggunaan bahasa yang dilandasi kerja sama yang efisien. Grice (dalam Rahardi, 2005: 52) membagi prinsip kerjasama menjadi empat kategori maksim yang berbeda, yaitu:
a.         Maksim kuantitas: berilah jumlah informasi yang tepat sesuai dengan apa yang diinginkan oleh lawan tutur. 
Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi yang diberikan tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur. Contohnya:
(1)   “lihat itu Muhammad Ali mau bertanding lagi!”
(2)   “Lihat itu Muhammad Ali yang mantan petinju kelas berat itu mau bertanding lagi!”
Informasi indeksal:
Tuturan 1 dan 2 dituturkan oleh seorang pengagum Muhammad Ali kepada rekannya yang juga mengagumi legendaries itu. Tuturan ini dimunculkan pada waktu mereka bersama-sama melihat salah satu acara tinju di televisi.

Tuturan (1) merupakan tuturan yang sudah jelas dan sangat informative isisnya. Dapat dikatakan demikian, karena tanpa harus ditambah dengan informasi lain, tuturan itu sudah dapat dipahami maksudnya dengan baik dan jelas oleh si Mt. Penambahan informasi seperti yang terdapat pada tuturan (2)  menyebabkan tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang. Tuturan seperti (2) tidak mendukung atau bahkan melanggar prinsip kerja sama Grice.
Pernyataan yang demikian dalam banyak hal, kadang-kadang tidak dapat dibenarkan. Dalam masyarakat Indonesia, khususnya di dalam kultur Jawa, justru ada indikasi bahwa semakin panjang sebuah tuturan akan semakin sopanlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin pendek sebuah tuturan, semakin tidak sopanlah tuturan itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk menunjukkan maksud kesantunan tuturan dalam bahasa Indonesia, dalam hal tertentu penutur harus melanggar dan tidak menepati prinsip kerja sama Grice.
b.         Maksim kualitas: Buatlah sumbangan atau kontribusi yang benar.
Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur. Fakta ini harus didukung dan disarankan pada bukti-bukti yang jelas. Tuturan berikut dapat menjelaskan pernyataan di atas.
(3)   “silakan menyontek saja biar nanti saya mudah menilainya!”
(4)   “jangan menyontek, nilainya bisa E nanti!”
Informasi indeksal:
Tuturan 3 dan 4 dituturkan oleh dosen kepada mahasiswanya di dalam ruang ujian pada saat ia melihat seorang mahasiswa yang sedang berusaha melakukan penyontekan.
Tuturan 3 memungkinkan terjadinya kerja sama antara Pn dan Mt. tuturan 4 dikatakan melanggar maksim kualitas karena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang seharusnya dilakukan seseorang. Suatu kejanggalan jika dalam dunia pendidikan terdapat seorang dosen yang mempersilakan para mahasiswanya melakukan penyontekan pada saat ujian berlangsung.
Dalam komunikasi sebenarnya, Pn dan Mt sangat lazim menggunakan tuturan dengan maksud yang tidak senyatanya dan tidak disertai dengan bukti-bukti yang jelas. Bertutur yang terlalu langsung, dan tanpa basa-basi dengan disertai bukti-bukti yang jelas dan apa adanya justru akan membuat tuturan menjadi kasar dan tidak sopan. Dengan kata lain, untuk bertutur yang santun maksim kualitas ini seringkali tidak dipatuhi dan tidak dipenuhi.
c.         Maksim relevansi: usahakan agar informasi yang diberikan ada relevansinya.
Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin keja sama yang baik antara Pn dan Mt, masing-masing hendaknya dapat memberikan konstribusi yang relavan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan konstribusi yang demikian itu dianggap tidak memenuhi dan melanggar prinsip kerja sama. Sebagai ilustrasi dalam pernyataan tersebut perlu dicermati tuturan di bawah ini.
(5)     Sang Hyang Tunggal : “namun sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku ini dalam hati!
(6)     Semar                           :  “Hamba bersedia, ya Dewa”.           
Informasi Indeksal
Tuturan ini dituturkan oleh Sang Hyang Tunggal kepada tokoh Semar dalam sebuah adegan pewayangan.
Tuturan (5) di atas dapat dikatakan mematuhi dan menepati maksim relevansi. Karena tuturan (6) benar-benar merupakan tanggapan atas permintaan penutur (5). Dengan kata lain, tuturan tersebut patuh dengan maksim relevansi dalam prinsi kerja sama Grice.  
d.        Maksim pelaksanaan: Tajamkanlah pikiran dengan mengindari ketidakjelasan ekspresi, ketaksaan, laporan yang bertele-tele, serta tertib dan rapi.
Maksim pelaksanaan ini mengharuskan penutur bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur. Orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal itu dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama Grice karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan. Perhatikan tuturan berikut:
(7)   “ayo, cepat buka!”
“sebentar dulu, masih dingin.”
Informasi indeksal
 Dituturkan oleh seorang kakak kepada adik perempuannya.
Cuplikan tuturan (7) di atas memiliki kadar kejelasan yang rendah. Karena berkadar kejelasan rendah dengan sendirinya kadar kekaburannya menjadi sangat tinggi.
2.        Prinsip sopan santun
Pragmatik berkenaan dengan masalah-masalah yang bersifat nontekstual. Untuk masalah-masalah interpersonal, maksim percakapan tidak lagi banyak digunakan. Oleh karena itu, untuk melengkapi maksim tersebut dapat digunakan prinsip kesantunan berbahasa. Tarigan (1990) menerjemahkan maksim-maksim dalam prinsip kesantunan yang disampaikan Leech (1983). Dalam prinsip sopan santun (PS) terdapat enam kategori yang berbeda yaitu:
a.         Maksim Kebijaksanaan (dalam kerugian dan keuntungan).
1)   Kurangi kerugian orang lain
2)   Tambahi keuntungan orang lain
b.         Maksim Kedermawaan (dalam kerugian dan keuntungan)
1)      Kurangi keuntungan diri sendiri
2)   Tambahi pengorbanan diri sendiri
c.         Maksim Penghargaan (dalam ekspresi dan asersi)
1)      Kurangi cacian orang lain
2)      Tambahi pujian pada orang lain
d.        Maksim Kesederhanaan
1)      Kurangi pujian pada diri sendiri
2)      Tambahi cacian pada diri sendiri
e.         Maksim Pemufakatan
1)      Kurangi ketidak sesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
2)      Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
f.          Maksim Simpati
1)      Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain.
2)      Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain.
(leech, 1983:132)
Keberhasilan suatu percakapan atau konversasi ditentukan oleh terlaksananya prinsip-prinsip kerja sama dan sopan santun. Selain itu, preseuposisi (perkiraan, persangkaan) juga turut menentukan kelancaran percakapan atau tindak ujar. (Cunningsworth, 1983: 10) Teori tindak ujar memusatkan perhatian pada cara penggunaan bahasa mengkomunikasikan maksud dan tujuan sang pembicara dan juga dengan maksud penggunaan bahasa yang dilaksanakannya. Pemerian yang kompherensif dan eksplisit mengenai pelaksanaan tindak ujar ini mempunyai nilai penting bagi pengajar dan pelajar, bagi guru dan siswa dalam interaksi belajar-mengajar.
3.        Skala Kesantunan Berbahasa
Skala pengukur kesantunan berbahasa berdasarkan pandangan beberapa ahli, dapat diuraikan berikut ini.
a.         Skala kesantunan Leech
Di dalam model kesantunan Leech (1983), setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Leech (1983: 123-126) menyatakan ada lima skala kesantunan berbahasa yaitu:
1)        Cost-benefit scale: representing the cost or benefit of an act to speaker and hearer.
2)        Optimality scale: Indicating the degree of choice permitted to speaker and/or hearer by a specific linguistic act.
3)        Indirectness scale: Indicating the amount of inferencing required of the hearer in order to establish the intended speaker meaning.
4)        Authority scale: representing the status relationship between speaker and hearer.
5)        Sosial distance scale: Indicating the degree of familiarity between speaker and hearer.(Leech, 1983: 123-126)
Kelima macam skala pengukur kesantunan Leech (1983) itu satu per satu dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)        Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan itu merugikan penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. 
2)        Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Berkaitan dengan pemakain tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia, dapat dikatakan bahwa apabila tuturan imperatif itu menyajikan banyak pilihan tuturan akan menjadi semakin santunlah pemakaian tuturan imperatif itu.
3)        Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santun tuturan itu.    
4)        Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara Pn dan Mt yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara Pn dengan Mt, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur.
5)        Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara Pn dan Mt yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara Pn dan Mt, akan semakin santunlah tuturanyang digunakan  itu. Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan yang digunakan dalam bertutur (Rahardi, 66-68).
b.        Skala kesantunan Brown dan Levinson
 Dalam model kesantunan Brown dan Levinson (dalam Rahardi, 2005) terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan tuturan. Ketiga skala tersebut ditentukan secara kontekstual, sosial, dan cultural yang selengkapnya mencakup skala-skala berikut: 1) social distance between speaker and hearer, 2) the speaker and hearer relative power, 3) the degree of imposition associated with the required expenditure of goods or services. Berikut uraian dari setiap skala tersebut.
1)        Skala peringkat jarak sosial antara Pn dan Mt (social distsnce between speaker and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural.
2)        Skala peringkat status sosial antara Pn dan Mt (the speaker and hearer relative power) atau seringkali disebut peringkat kekuaaan (power rating) didasarkan pada kedudukan asimetrik antara Pn dan Mt. Contohnya, seorang dokter memiliki peringkat kekuasaan lebih tinggi dibandingkan dengan seorang pasien. 
3)        Skala peringkat tindak tutur yang disebut rank rating atau lengkapnya the degree of imposition associated with the required expenditure of  goods or services didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya. Sebagai contoh, dalam situasi yang sangat khusus, bertamu di rumah seorang wanita dengan melewati batas waktu bertamu yang wajar akan dikatakan sebagai tidak tahu sopan santun dan bahkan melanggar norma kesantunan yang berlaku pada masyarakat tutur itu. Namun, hal yang sama dianggap wajar dalam situasi yang berbeda. Pada saat di suatu kota terjadi kerusuhan dan pembakaran gedung-gedung dan perumahan, orang berada di rumah orang lain atau rumah tetangganya bahkan sampai pada waktu yang tidak ditentukan.

c.         Skala kesantunan Robin Lakoff
Robin Lakoff (dalam Rahardi, 2005) mengungkapkan ada tiga ketentuan atau skala kesantunan dalam berbahasa. Ketiga ketentuan tersebut dapat diuraikan berikut ini.
1)        Skala formalitas (formality scale), dinyatakan bahwa agar para peserta tutur dapat merasa nyaman dan kerasan dalam kegiatan bertutur, tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh berkesan angkuh.  
2)        Skala ketidaktegasan (hesitancy scale), menunjukkan bahwa agar Pn dan Mt dapat saling merasa nyaman dan kerasan dalam bertutur, pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua belah pihak
3)        Skala kesamaan atau kesekawanan (equality scale), menunjukkan bahwa agar dapat bersifat santun, orang haruslah bersifat ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak yang satu dengan pihak lain. Pn harus menganggap Mt sebagai sahabat.

E.     Kesantunan
Homes (2001) memaparkan bahwa dalam analisis sosiolinguistik, ada sejumlah faktor dan dimensi sosial yang mempengaruhi. Secara garis besar, Homes mengelompokkaan faktor-faktor sosial tersebut atas empat hal yakni: (1) peserta, berkaitan dengan siapa mereka bertutur;  (2) latar atau konteks sosial interaksi, berkaitan dengan di mana mereka bertutur; (3) topik, berkaitan dengan apa yang sedang mereka tuturkan; (4) dan fungsi, berkaitan dengan mengapa mereka bertutur. Dalam situasi mana pun pilihan-pilihan bahasa umumnya mencerminkan pengaruh satu atau beberapa komponen tersebut. Skala sosial ini ini berguna untuk memberi penekanan bahwa seberapa dalam kita mengenal seseorang itu merupakan faktor yang relevan dalam pilihan linguistik. Skala jarak sosial-solidaritas dapat digambarkan sebagai berikut:
                                    Akrab                          Jauh
                                           --------------------------
                                Solidaritas                       solidaritas
                                    tinggih                          rendah
            Gambar tersebut menunjukkan bahwa jarak sosial antara penutur dengan mitra tutur berbanding terbalik dengan solidaritasnya. Semakin akrab jarak sosial antara- penutur dengan mitra tutur, semakin tinggi solidaritasnya. Sebaliknya, semakin jauh jarak sosial antara penutur dengan mitra tutur, semakin rendah tingkat solidaritsnya . jika dikaitkan dengan kesantunan berbahasa, semakin akrab jarak sosial antara penutur dengan mitra tutur, semakin tinggi solidaritasnya tentu akan mempengaruhi tingkat kesantunan berbahasanya, demikian pula sebaliknya.
            Skala status menunjukkan pada relevansi status relatif pada beberapa pilihan linguistik. Dimensi skala status ini dapat digambarkan sebagai berikut.
                                    Atasan             Status tinggi

                                    Bawahan         Status rendah

            Gambar tersebut menunjukkan bahwa status sosial yang dimiliki seseorang sangat berpengaruh dalam sebuah interaksi. Semakin tinggi status sosial seseorang semakin tinggi pula kekuasan yang diembannya. Sebaliknya, semakin rendah status seseorang semakin rendah pula peranannya. Dalam hubungannya dengan kesantunan berbahasa, perbedaan status sosial antara penutur dengan mitra tutur akan mempengaruhi ekspresi kesantunan berbahasa yang digunakan.
            Skala formalitas berguna mengukut pengaruh latar sosial atau jenis bahasa terhadap pilihan bahasa. Dalam suatu transaksi formal bahasa digunakan akan sangat dipengaruhi oleh formalitas latarnya. Derajat formalitasnya kebanyakan ditentukan oleh hubungan status  dan solidaritas. Tetapi tidak selalu seperti itu. Suatu hubungan pribadi antar penutur-penuturnya. Skala formalitas ini dapat digambarkan sebagai berikut.
                        Formal                         Formalitas tinggi


                        Informal                      Formalitas rendah

            Gambar tersebut menunjukkan bahwa semakin formal sebuah interaksi yang berlangsung antara penutur dengan mitra tutur, semakin tinggi pula tingkat keformalan bahasa yang digunakan. Sebaliknya, semakin informal bentuk interaksinya, semakin rendah keformalan bahasa yang digunakan.
Dalam skala fungsional, mengacu pada skala fungsi efektif dan skala referensial. Kedua skala ini dapat digambarkan sebagai berikut.
                                                Referensial
                        Tinggi                                                  Rendah
                                    -----------------------------------------
                        Kandungan                                         kandungan
                        Informasi                                             Informasi
                                                    Afektif
                        Rendah                                                Tinggi
                                    -----------------------------------------
                        Kandungan                                         Kandungan
                        Informasi                                             Informasi
            Walaupun bahasa melayani banyak fungsi, dua fungsi yang telah diidentifikasi dalam skala-skala tersebut terutama sangat mendasar dan lazim. Bahasa yang disampaikan oleh penutur juga menyampaikan objektif dengan jenis referensial yang disampaikan seorang penutur dapat memberi gambaran baru sekaligus dapat menyampaikan perasaan penutur berkaitan dengan informasi yang disampaikannya. Berdasakan kedua gambaran tersebut, dapat dikemukakan bahwa fungsi referensial cenderung berbanding terbalik dengan fungsi afektifnya. Semakin tinggi kandungan informasi referensial sebuah tuturan, semakin rendah muatan afektifnya. Sebaliknya, semakin tinggi kandungan afektif sebuah tuturan, semakin rendah kandungan informasi referensialnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar